Kisah

Rumah Tangga dan Uang Seratus Juta Rupiah

Rumah Tangga dan Uang Seratus Juta Rupiah
Arief Siddiq Razaan

RIAUTERBIT.COM-Suatu ketika, seorang suami menghubungi istrinya yang sedang ikut arisan dengan teman tempatnya bekerja.

“Assalamu’alaikum. Bu, hari ini Ayah mau pergi ke luar kota. Bisa tidak pulang sebentar?”

“Waalaikumsalam. Sudah berapa kali dibilangin, jangan panggil aku Ibu, panggil Mama, kan aku manggil sayang dengan sebutan Papa. Panggilan Ibu sudah kuno, tidak enak didengarkan. Oh ya, Mama tidak bisa meninggalkan acara, apalagi ini dengan teman-teman akrab Mama.”

“Maaf untuk salah kata sapaannya. Ya sudah, kalau begitu Papa serahkan saja uang seratus juta rupiah kepada pembantu kita untuk digunakan mengurus keperluan rumah tangga.”

“Hah! Pa, seratus juta diserahkan ke pembantu? Apa Papa sudah gila? Bagaimana kalau uang itu dibawa kabur?”

“Jadi maunya Mama, bagaimana?”

“Mama pulang sekarang, tunggu sampai Mama datang, baru Papa berangkat ya!”

Setelah menunggu sekian waktu, akhirnya sang Istri sampai di rumah. Betapa herannya, saat melihat suaminya malah sedang asyik bermain dengan anak semata wayangnya bersama pembantu rumah tangga.

Sang suami tahu, ada raut ketidaksukaan memancar di wajah istrinya. Saat itu juga, ia meminta pembantunya untuk mengajak anaknya berbelanja kebutuhan sekolah.

“Katanya Papa mau ke luar kota, mengapa malah asyik bermain dengan pembantu?”

“Tambahan, ada anak kita juga.”

“Iya! Pembantu dan anak kita, puas!”

“Memangnya ada masalah? Bukankah bermain bersama anak itu penting, lagipula Mama jarang berada di rumah, apa salahnya mengajak pembantu untuk menghibur anak kita?”

“Jadi karena itu Papa mau menyerahkan uang seratus juta kepada pembantu? Jangan-jangan Papa ada hubungan khusus dengannya?”

“Astagfirullahhaladzim, ini jadi Mama permasalahkan uangnya atau sekaligus kecemburuan?”

“Dua-duanya! Terutama sekali, bagaimana bisa uang sebesar itu mau dititipkan pada pembantu?”

“Baik, boleh Papa bertanya? Jika Mama berkeberatan uang seratus juta dititipkan pada pembantu, lalu mengapa anak kita sedari kecil dipercayakan diurus oleh pembantu? Padahal anak kita merupakan harta yang nilainya lebih besar daripada uang seratus juta?”

Sang istri terdiam. Kemudian sang suami melanjutkan ucapannya.

“Jika derajat pembantu rumah tangga dianggap lebih rendah dibandingkan seorang istri, mengapa justru pembantu rumah tangga yang memuliakanku dengan masakannya, memuliakanku dengan rumah dan pakaian yang bersih, memuliakanku dengan mengajari dan menghibur darah dagingku padahal dia hanya seorang pembantu dan bukan istriku?”

Sekali lagi sang istri tak mampu berkata apa-apa, sebab segala tanya dari suaminya memang tak mampu dijawabnya.

“Papa tahu, Mama mau mencari kesibukan sebagai wanita karier, punya penghasilan sendiri. Gelar kesarjanaan Mama sayang apabila tidak digunakan, tetapi Mama juga harus mengerti bahwa seorang istri tidak bertanggungjawab mencari nafkah. Papa sanggup memberi nafkah, namun karena rasa cinta akhirnya keinginan Mama bekerja Papa kabulkan, tetapi nyatanya Mama malah sibuk dengan kerjaan dan melupakan tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anak kita.”

Tak berapa lama, anak pasangan suami istri tersebut pulang bersama pembantu.

“Mama… Mama… Dedek boleh panggil Bibi dengan sebutan Ibu tidak? Soalnya waktu di sekolah teman-teman Dedek diantar, waktu Dedek tanya mereka diantar siapa? Jawabnya diantar Ibunya, berarti kan Bibi Itu Ibunya Dedek.”

Kali ini tangis sang istri tak tertahankan lagi. Tiba-tiba dipeluknya sang anak, lalu dengan bibir tergetar berkata.

“Mulai besok Mama yang antar Dedek ke sekolah, dan katakanlah Dedek diantar sama Ibu.” (*)


Oleh : Arief Siddiq Razaan /islampos
 

Berita Lainnya

Index