Etika Penyelenggara Pemilu Wujudkan Pemilu yang Berkualitas

Etika Penyelenggara Pemilu Wujudkan Pemilu yang Berkualitas

Etika Penyelenggara Pemilu Wujudkan Pemilu yang Berkualitas 

Oleh : Ahmad Bilal, ST

Integeritas penyelenggara pemilu merupakan pondasi awal dalam menjadikan pemilu sebagai pijakan take off menuju demokrasi yang berkualitas. Integeritas merupakan hal yang sangat vital dalam penyelenggaraan pemilu. 

Oleh karena itu aspek integeritas ini harus dijunjung tinggi oleh para penyelenggara pemilu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mendefinisikan penyelenggara pemilu sebagai lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis.

Dalam tatanan hukum etika bagi penyelenggara pemilu sudah diatur dalam perundang-undangan, namun sejauh ini pemahaman hukum etika penyelenggara pemilu hanya sebatas lingkup penyelenggara pemilu, tidak banyak pihak-pihak yang mengetahui maupun mengakses hukum etika penyelenggara pemilu, padahal peran dan kepentingan masyarakat terhadap pemahaman etika penyelenggara pemilu sejatinya jauh lebih luas, utamanya kepentingan untuk mengawal dan memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegeritas dan kredibel. 

Sebagai penyelenggara pemilu, integeritas dan profesionalitas harus dijaga dengan mematuhi prinsip-prinsip penyelenggara pemilu, bersumber dari Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Prinsip-prinsip kode etik penyelenggara pemilu tersebut yaitu jujur, mandiri, adil, akuntabel, berkepastian hukum, aksesibilitas, tertib, terbuka, proporsional, profesional, efektif, efisien dan kepentingan umum. Peraturan tersebut juga merupakan suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara pemilu. 

Etika penyelenggara pemilu dapat dikategorisasikan sebagai kaedah etika yang merupakan hasil penemuan hakim, dalam hal ini para komisioner DKPP yang mengadili perkara pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Pengaturan yang berkaitan dengan kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu merupakan sebuah upaya pemurnian nilai bagi kelembagaan penyelenggara pemilu. Etika materil dalam penegakan kode etik penyelenggara pemilu, tidak hanya dapat dijabarkan atau diimplementasikan dari aspek Peraturan DKPP mengenai kode etik penyelenggara pemilu saja, tetapi juga asas-asas penyelenggara pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu pun dapat dijadikan aspek etika materil dalam penegakan kode etik. Dalam rangka penegakan kode etik penyelenggara pemilu, maka lembaga DKPP hadir untuk menjaga integeritas, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu.

Dalam rangka mewujudkan dan menegakkan kehormatan penyelenggara pemilu maka DKPP diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara serta pemberhentian tetap terhadap penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Menurut ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Prof. Dr. Muhammad, bahwa core business penyelenggara pemilu adalah public trust. Kalau bisa mengelola kepercayaan masyarakat dengan baik maka akan menghasilkan pilkada atau pemilu yang berintegeritas.

Modus Penyelenggara Pemilu.

Pemerintah telah menerbitkan berbagai macam regulasi terkait penyelenggaraan pemilu yang menjadi dasar serta pedoman bagi penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Namun berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, banyak anggota penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar etika dengan bersikap dan bertindak tidak professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, penegakan kode etik sangat penting sebagai alat control terhadap pelaksanaan nilai-nilai luhur yang dimuat di dalam aturan kode etik, sekaligus menindak tegas setiap perilaku yang terbukti melanggar kode etik.

Eksistensi penyelenggara pemilu yang strategis menimbulkan potensi penyimpangan tingkah laku sebagai penyelenggara. Bahkan banyaknya jumlah laporan yang diterima DKPP menjadi sorotan publik terhadap penyelenggara pemilu yang independen serta tidak memihak.

Sardini dalam bukunya “Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu”, memaparkan bahwa terdapat 13 modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. 

Pertama, vote manipulation yaitu mengurangi, menambahkan, atau memindahkan perolehan suara dari satu peserta pemilu ke peserta pemilu satu dengan yang lainnya. 

Kedua, bribery of officials yaitu pemberian sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada penyelenggara pemilu dengan maksud memenuhi kepentingan pemberinya atau untuk lain. 

Ketiga, unequal treatment yaitu perlakuan yang tidak sama atau berat sebelah kepada peserta pemilu dan pemangku kepentingan lain. 

Keempat, infringements of the right to vote yaitu pelanggaran terhadap hak memilih warga Negara dalam pemilu. Kelima, vote and duty secrecy atau secara terbuka memberitahukan pilihan politiknya dan menanyakan pilihan politik orang atau pemilih lain. 

Keenam, abuse of power yaitu memanfaatkan posisi jabatan dan pengaruh-pengaruhnya, baik atas dasar kekeluargaan, kekerabatan, otoritas tradisional atau pekerjaan, untuk mempengaruhi pemilih lain. 

Ketujuh, conflict of interest atau benturan kepentingan. Kedelapan, sloppy work of election process yaitu ketidakcermatan, ketidaktepatan, ketidakteraturan atau kesalahan dalam proses pemilu. Kesembilan, intimidation and violence yaitu melakukan tindakan kekerasan atau intimidasi secara fisik maupun mental.

 Kesepuluh, breaking the law atau melakukan tindakan atau terlibat dalam pelanggaran hukum. Kesebelas, absence of effective legal remedies yaitu kesalahan yang dapat ditoleransi sejauh tidak berakibat rusaknya integeritas penyelenggaraan pemilu, juga hancurnya independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu. 

Keduabelas, the fraud of voting day yaitu kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyelenggara pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Ketigabelas, destroying neutrality, impartiality, and independent atau menghancurkan/mengganggu/mempengaruhi netralita, imparsialitas dan kemandirian.

Dalam rangka meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maka upaya yang perlu dilakukan adalah: Pertama, Luruskan niat dengan menjadi penyelenggara pemilu yang baik, professional dan berintegeritas untuk mengabdi kepada bangsa dan mewujudkan pemilu berintegeritas. Kedua, siapkan mental. Ketiga, pahami tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pemilu. Keempat, jaga perilaku.

Berbagai modus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dapat mencederai kemurnian demokrasi. Dengan demikian maka diperlukan adanya penguatan serta peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh DKPP sebagai salah satu upaya preventif dalam miminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. 

Maka nilai-nilai integeritas, netralitas dan profesionalitas harus menjadi landasan para penyelenggara dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diamanahkan melalui undang-undang.

Tingginya ekpektasi masyarakat terhadap lembaga Negara independen DKPP diharapkan dapat menjaga marwah penyelenggaraan pemilu melalui penyelenggara pemilu yang berintegeritas. Dengan demikian, penyelenggara pemilu diharapkan mampu mengawal serta mewujudkan pemilu yang terpercaya dan kredibel sebagai salah satu upaya menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegeritas di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Penulis merupakan aktivis Riau

Berita Lainnya

Index