Upaya Cina Terkait Dugaan Pelanggaran HAM di Xinjiang

Upaya Cina Terkait Dugaan Pelanggaran HAM di Xinjiang

RIAUTERBIT.COM - Setelah kritik dan tuduhan bertubi dari berbagai negara sehubungan dengan kebijakan kamp pelatihan di Xinjiang, pemerintah Cina tampak berupaya untuk pulihkan citra. Mulai dari penerbitan buku putih yang menggambarkan keberhasilan program pendidikan, hingga ke janji pemberian izin bagi para pengamat dari negara-negara Uni Eropa untuk datang langsung agar “lebih mengerti” keadaan di Xinjiang. 

Buku putih yang dengan teguh mempertahankan kebijakan pemerintah Cina di wilayah tersebut diterbitkan pada Kamis (17/09). Pemerintah mengatakan bahwa taraf hidup orang-orang di Xinjiang telah meningkat berkat adanya program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik.

Seperti diketahui, buku putih ini terbit hanya beberapa hari setelah pemerintah AS mengatakan bahwa kamp-kamp yang didirikan pemerintah ini dijalankan mirip dengan model operasi "kamp konsentrasi". 

Laporan dalam buku putih tersebut mengatakan bahwa Xinjiang telah "melaksanakan proyek ketenagakerjaan dengan penuh semangat, meningkatkan pelatihan kejuruan, dan memperluas penyaluran serta kapasitas pekerjaan." Di dalamnya disebutkan pula bahwa pelatihan kejuruan bagi jutaan orang telah berkontribusi dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja.

"Xinjiang telah secara besar-besaran membangun tenaga kerja berbasis pengetahuan, keterampilan dan inovasi, yang memenuhi persyaratan era baru," tulis laporan itu. / Pelatihan yang diberikan di sana termasuk pelajaran bahasa Mandarin secara tertulis dan lisan, keterampilan kerja dan pengetahuan tentang kehidupan di daerah perkotaan, demikian menurut laporan itu. Disebutkan pula bahwa orang-orang pedesaan telah memulai bisnis atau bekerja di pabrik setelah mendapat dukungan negara. 

Lebih lanjut buku putih tersebut menyatakan bahwa setiap tahun antara 2014 dan 2019, Xinjiang telah memberikan "sesi pelatihan" kepada rata-rata 1,29 juta pekerja di daerah kota dan desa, dan bahwa kebijakan ketenagakerjaan ini "memenuhi kebutuhan masyarakat (dan) meningkatkan kesejahteraan mereka." 

Namun, buku putih tersebut memperingatkan bahwa "teroris, separatis, dan ekstremis agama" telah mendorong masyarakat untuk tidak mempelajari bahasa Mandarin, untuk "menolak sains modern, dan menolak meningkatkan keterampilan kejuruan mereka."

Sebelumnya, pada Selasa (15/09) juru bicara Kementerian Luar Negeri pemerintah Cina mengatakan negaranya akan menyambut baik perwakilan dari negara-negara Uni Eropa untuk mengunjungi daerah itu "supaya benar-benar memahami situasi sebenarnya dan tidak bergantung pada desas-desus." 

"Uni Eropa telah meningkatkan keinginan mereka untuk mengunjungi Xinjiang, Cina setuju dan bersedia untuk mengatur hal itu," kata juru bicara Wang Wenbin kepada wartawan. Namun ia tidak mengonfirmasi apakah para pengamat dari UE ini nantinya akan diperbolehkan bepergian dengan bebas di wilayah tersebut.

Desember 2019 lalu Cina pernah mengundang pemain bola asal Jerman, Mesut Ozil, untuk mengunjungi Xinjiang dan melihat situasinya sendiri. Undangan ini datang setelah Ozil mengecam perlakuan terhadap etnis Uighur dan mengkritik negara-negara Muslim karena dinilai bungkam terkait dugaan pelanggaran tersebut. 

Beijing telah lama dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis muslim Uighur dan menempatkan mereka di dalam kamp. Pemerintah Cina pun menghadapi tekanan internasional utamanya di bidang perdagangan dan perjanjian investasi. 

Produsen pakaian asal Swedia yakni H&M mengatakan pihaknya mengakhiri hubungan dengan produsen benang asal Cina atas tuduhan "kerja paksa" di Xinjiang, yang merupakan daerah penanaman kapas terbesar di Cina. Beijing membantah klaim kerja paksa dan dalam laporannya pada Selasa mengatakan akan mengambil "tindakan tegas" atas tindakan tersebut.

Tidak hanya dari Swedia, Bea Cukai Amerika Serikat pada Senin (14/09) mengatakan akan melarang masuk sejumlah produk Cina yang berasal dari Xinjiang karena kekhawatiran akan adanya kerja paksa. Pihak bea cukai mengatakan bahwa "(kelompok) agama dan etnis minoritas ... dipaksa bekerja dalam kondisi keji tanpa adanya pilihan dan tanpa kebebasan."

Penjabat Wakil Sekretaris dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, Ken Cuccinelli, sebelumnya mengatakan kepada wartawan bahwa kamp tersebut “bukan pusat kejuruan, ini adalah kamp konsentrasi."

Tetapi Beijing mengatakan pusat-pusat pelatihan itu didirikan untuk pelatihan kejuruan yang diperlukan untuk melawan terorisme dan memberikan pendidikan untuk mengentaskan kemiskinan. Maret lalu, dalam sebuah buku putih yang juga masih terkait Xinjiang, Cina membela tindakan kontroversialnya dan mengatakan telah menangkap hampir sebanyak 13.000 "teroris" telah di sana sejak 2014.(rep)

Berita Lainnya

Index