Isu SARA Dimobilisasi Masif di Pilgub DKI

Isu SARA Dimobilisasi Masif di Pilgub DKI
Ilustrasi Pilgub DKI 2017 (Beritasatu.com)

RIAUTERBIT.COM – Politik identitas selalu menjadi sarana paling efektif dan intens dalam pesta demokrasi di Indonesia. Kampanye berbau suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) digaungkan sejumlah kalangan seperti pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

“Orang-orang fanatik SARA, merasa berhak perjuangkan SARA. Ini semakin banyak, lebih celakanya lagi dimobilisasi sedemikian masif di pengajian, sekolah-sekolah, dan media sosial,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit dalam diskusi bertema Makin Ketat di Putaran Kedua: Kok Masih Main SARA?, Jakarta, Rabu (29/3).

Ia mengungkapkan bahwa anaknya pernah tak datang dalam aksi damai 2 Desember 2016 (Aksi 212). “Anak saya dikatakan setan tidur oleh teman-temannya, itu semacam intimidasi,” ujarnya.

Ia menuturkan, para pihak dalam kelompok yang anti terhadap Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) semakin kuat dan membesar. “Ada rekayasa sistematik, menyeluruh dan massal, itu semakin kuat dan besar. Sebenarnya sejak 2014 waktu Ahok jadi wakil, itu sudah mulai aktif gerakan (penolakan), puncaknya sekarang,” tuturnya.

Dalam rangka serangan atas Ahok, menurutnya, sedang dikembangkan dua kekuatan saling berhadapan yakni antara kelompok agama dan nasionalis. “Satu kekuatan agama, kemudian nasionalis, yang lebih tajam lagi adalah cita-cita dihidupkan kembali negara Islam. Kalau dipertajam lagi, satu ingin khalifah, satu lagi NKRI,” katanya.

“Tapi kan aneh ya, ini soal Jakarta dan pilkadanya atau bangsa atau internasional. Ini hebat pilkada ini. Gaungnya sampai ke dunia, karena ada pergolakan seperti itu. Ini akibat dari penggunaan agama di dalam situ,” papanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan negara berkewajiban mencegah isu SARA. “Sesungguhnya siapa yang berkewajiban mencegah? Ya negara,” kata Usep.

Akan tetapi, menurutnya, negara terkesan tak siap mengantisipasi. “Sebelum aksi 212, negara tidak mengira sebesar itu gelombang aksi dan sebagainya. Sampai hari ini juga belum ada aksi-aksi nyata yang sifatnya sangat besar, sistematik untuk mengembalikan toleransi,” ujarnya.

Ia juga menyatakan, penyelenggara tak peka terhadap politik identitas yang menguat dalam kampanye. “Kok seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) terus memperpanjang kampanye yang sama kayak tawuran, menyuburkan intoleransi,” tukasnya.

“Saya setuju diperpanjang kalau kampanye jadi pendidikan politik. Tapi kampanye yang kita lakukan tidak berikan pendidikan politik. Kita juga belum dengar ada partai atau paslon diberi sanksi karena politik identitas,” ungkapknya.

Carlos KY Paath/PCN

Suara Pembaruan
 

Berita Lainnya

Index