RIAUTERBIT.COM – Politik identitas selalu menjadi sarana paling efektif dan intens dalam pesta demokrasi di Indonesia. Kampanye berbau suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) digaungkan sejumlah kalangan seperti pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.
“Orang-orang fanatik SARA, merasa berhak perjuangkan SARA. Ini semakin banyak, lebih celakanya lagi dimobilisasi sedemikian masif di pengajian, sekolah-sekolah, dan media sosial,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit dalam diskusi bertema Makin Ketat di Putaran Kedua: Kok Masih Main SARA?, Jakarta, Rabu (29/3).
Ia mengungkapkan bahwa anaknya pernah tak datang dalam aksi damai 2 Desember 2016 (Aksi 212). “Anak saya dikatakan setan tidur oleh teman-temannya, itu semacam intimidasi,” ujarnya.
Ia menuturkan, para pihak dalam kelompok yang anti terhadap Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) semakin kuat dan membesar. “Ada rekayasa sistematik, menyeluruh dan massal, itu semakin kuat dan besar. Sebenarnya sejak 2014 waktu Ahok jadi wakil, itu sudah mulai aktif gerakan (penolakan), puncaknya sekarang,” tuturnya.
Dalam rangka serangan atas Ahok, menurutnya, sedang dikembangkan dua kekuatan saling berhadapan yakni antara kelompok agama dan nasionalis. “Satu kekuatan agama, kemudian nasionalis, yang lebih tajam lagi adalah cita-cita dihidupkan kembali negara Islam. Kalau dipertajam lagi, satu ingin khalifah, satu lagi NKRI,” katanya.
“Tapi kan aneh ya, ini soal Jakarta dan pilkadanya atau bangsa atau internasional. Ini hebat pilkada ini. Gaungnya sampai ke dunia, karena ada pergolakan seperti itu. Ini akibat dari penggunaan agama di dalam situ,” papanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan negara berkewajiban mencegah isu SARA. “Sesungguhnya siapa yang berkewajiban mencegah? Ya negara,” kata Usep.
Akan tetapi, menurutnya, negara terkesan tak siap mengantisipasi. “Sebelum aksi 212, negara tidak mengira sebesar itu gelombang aksi dan sebagainya. Sampai hari ini juga belum ada aksi-aksi nyata yang sifatnya sangat besar, sistematik untuk mengembalikan toleransi,” ujarnya.
Ia juga menyatakan, penyelenggara tak peka terhadap politik identitas yang menguat dalam kampanye. “Kok seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) terus memperpanjang kampanye yang sama kayak tawuran, menyuburkan intoleransi,” tukasnya.
“Saya setuju diperpanjang kalau kampanye jadi pendidikan politik. Tapi kampanye yang kita lakukan tidak berikan pendidikan politik. Kita juga belum dengar ada partai atau paslon diberi sanksi karena politik identitas,” ungkapknya.
Carlos KY Paath/PCN
Suara Pembaruan
Isu SARA Dimobilisasi Masif di Pilgub DKI
Kantor Redaksi
Rabu, 29 Maret 2017 - 21:01:14 WIB
Pilihan Redaksi
IndexDOB Kabupaten Pekanbaru Barat, Khairul Azwar : solusi pemerataan pembangunan
HUT ke-77, PWI Riau Target 77 Kantong Darah Wartawan
Personel Pos Kout Satgas Pamtas RI-PNG Yonif 132/BS Karya Bakti di Desa Pulau Gadang
KNPI Riau Solid Bersama IPK, Sukseskan Kongres ke-XVI di Jakarta
Tulis Komentar
IndexBerita Lainnya
Index Internasional
Mulai Digagas Pembelajaran Al-Quran Secara Virtual
Senin, 03 Oktober 2022 - 12:41:13 Wib Internasional
Masyarakat Mengatasnamakan LID Berikan Dukungan Terhadap Catur SS Terus Pimpin Kampar Lebih Baik
Rabu, 02 Februari 2022 - 18:17:27 Wib Internasional
Kalah Dari Telaga Nirwana NTT, Sungai Kopu Desa Tanjung Juara 2 se-Indonesia Kategori Wisata Air
Rabu, 01 Desember 2021 - 11:20:56 Wib Internasional
Hendri Dunan Buka Secara Resmi Pelatihan Peningkatan Kapasitas Terhadap 32 Pelaku Koperasi dan UMK
Rabu, 01 September 2021 - 15:14:18 Wib Internasional