Buku Riau Istimewa, Perjuangan dengan Keris Tersarung

Buku Riau Istimewa, Perjuangan dengan Keris Tersarung
Tampil sebagai pembicara, Prof Tengku Dahril, Prof Detri Karya, Muchid Albintani PhD, dan Ronny Basista PhD. Diskusi atau bedah buku ini dipandu Ir Fakhrunnas MA Jabbar MIKom.

PEKANBARU - Buku Riau Istimewa dibedah, Rabu (31/1). Para penggagas buku ini pun angkat bicara terkait buku Riau Istimewa ini. Seorang penggagas buku, Rida K Liamsi mengatakan, buku Riau Istimewa ini menjadi bagian dari sejarah dan perjuangan masyarakat Riau.

(Buku Riau Istimewa, Perjuangan dengan Keris Tersarung)

"Esensi buku ini adalah perlawanan dengan keris tersarung," ujar Rida K Liamsi saat diskusi di aula bedah buku Pustaka Soeman Hs.

Selain Rida, tampil sebagai pembicara, Prof Tengku Dahril, Prof Detri Karya, Muchid Albintani PhD, dan Ronny Basista PhD. Diskusi atau bedah buku ini dipandu Ir Fakhrunnas MA Jabbar MIKom.

Beberapa tokoh masyarakat Riau juga hadir dalam pertemuan itu, di antaranya Hj Azlaini Agus SH MH, Drs Mambang Mit, Ir AZ Fakhri Yasin, Diana Tabrani, dan lainnya. Termasuk Kadispursip Provinsi Riau, Dra Mimi Yuliani Nazir.

Rida menyebutkan, perlawanan orang Riau memang tidak berhenti setelah Kongres Rakyat Riau (KRR) I dan II. Apalagi, yang digaungkan ketika itu adalah Riau merdeka, hasil dari perjuangan yang digagas Prof Tabrani Rab. Hanya saja, perjuangan itu pelan-pelan tidak lagi muncul. Gagasan buku Riau Istimewa ini adalah salah satu cara untuk mengingat dan memperingati KRR I dan II dengan tanggal yang sama.

Keris tersarung adalah simbol yang dicantumkan dalam cover buku Riau Istimewa ini, sebagai pengganti huruf i.

Hanya saja, konsep ini dipertanyakan tokoh masyarakat Riau yang hadir, Azlaini Agus. Azlaini menyebut, buku Riau Istimewa ini justru mendegradasi rancangan dan perjuangan berdarah -darah yang dilakukan komponen masyarakat Riau. Azlaini yang merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan Riau merdeka mengaku kecewa perjuangan itu terdegradasi. 

Pimpinan sidang KRR II 1 Februari 2000, Prof Tengku Dahril mengatakan, usai masyarakat Riau menyatakan "merdeka", tekanan kepada para pejuang-pejuang Riau ini makin kuat. Tengku Dahril yang mengetuk palu KRR II dengan opsi "Riau Merdeka" pun harus ke luar negeri untuk menenangkan diri dan mengamankan situasi.

"Untung ketika itu, dengan Presiden Gus Dur, tidak terjadi apa-apa. Apalagi beliau kan sering bilang, itu aja kok repot," ujar Dahril.

Pengalaman serupa disampaikan Prof Detri Karya. Detri menyebut pernah diikuti intel tiga malam berturut-turut, sehingga tiga malam pula tak bisa tidur. Itu buah dari ikutnya dia ke tengah gelanggang KRR II dan wacana Riau merdeka. Setelah diskusi dengan keluarga, dia memilih menepi dari wacana Riau merdeka.

"Kalau sekarang saya berani ke tengah lagi," ujar Detri.

Dr drh Chaidir yang didaulat menyampaikan refleksi KRR II, menyebutkan bahwa buku ini adalah legacy peradaban. Buku ini menjadi penanda bahwa Riau pernah berjuang untuk sesuatu yang besar.

"Ini legacy bagi masyarakat Riau," ujar Chaidir.

Pembicara lainnya, Ronny Basista menceritakan pengalaman-pengalamannya di Eropa, bahwa kebudayaan Riau tidak pernah diberi tempat untuk ikut mempromosikan Indonesia. Riau dianggap kecil. Sementara Muchid Albintani mengatakan, meski keputusan Kongres Rakyat Riau memilih opsi Riau merdeka, pada kenyataannya Riau tidak mendapatkan apa-apa.***

Rls

Berita Lainnya

Index