Seorang Hakim MK Beda Pendapat dalam Uji Materi soal Nikah Beda Agama

Seorang Hakim MK Beda Pendapat dalam Uji Materi soal Nikah Beda Agama
Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati berbicara dalam sidang Hak Asasi Manusia di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Rabu (12/12).
JAKARTA-(Riauterbit.com)-Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjadi satu-satunya hakim yang berbeda pendapat dalam uji materi Undang-Undang Perkawinan mengenai pernikahan pasangan yang berbeda agama. Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang dibacakan, Kamis (18/6/2015), menolak permohonan uji materi mengenai perkawinan beda agama. "Pencatatan perkawinan sama dengan catatan peristiwa penting, misalnya kelahiran dan kematian. Undang-Undang Perkawinan menciptakan keadilan dan kepastian hukum," ujar Maria dalam sidang di Gedung MK, Kamis (18/6/2015). Menurut Maria, Undang-Undang Perkawinan menjadi kodifikasi berbagai aturan dengan harapan menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Tetapi, bunyi pasal yang mengatur perkawinan adalah sah apabila menurut agama, telah menimbulkan berbagai penafsiran menyangkut keabsahan. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat menimbulkan penyelundupan hukum. Misalnya, warga yang akan menikah berusaha mengesampingkan hukum nasional, dengan melakukan perkawinan di luar negeri, maupun secara adat. Selain itu, bunyi pasal tersebut juga dapat mengesampingkan hukum agama. Misalnya, membuat salah satu pasangan "menundukkan diri" pada agama salah satu pihak, dan setelah itu kembali lagi ke agama semula. Sementara itu, menurut delapan hakim lainnya, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakuan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi. Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial. Hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas, individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara negara, menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum, serta melindungi pembentukan keluarga yang sah. Pemohon perkara ini adalah empat orang warga negara Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama. Menurut pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.

Berita Lainnya

Index