Oleh: Moh. Rizqy Maulidi
(Wakil Ketua HIMA Prodi Hukum Tatanegara STIT Al-Ibrohimi Bangkalan dan Kader HMI Cakraningrat Galis)
"Tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku," demikian pernyataan terkenal dari Abu Yazid Al-Bustami, seorang tokoh sufi yang dikenal dengan konsep fana’, baqa’, dan ittihad. Al-Bustami adalah salah satu penganut tasawwuf falsafi, sebagaimana Husen bin Mansur Al-Hallaj dengan konsep hulul, Ibnu Arabi dengan wahdah al-wujud, dan Suhrawardi Al-Maqtul dengan isyraqiyah. Tasawwuf falsafi menggabungkan mistisisme dengan rasionalitas, menjadikannya sebagai jalan bagi penganutnya untuk lebih dekat dan mengenal Sang Maha Kekal.
Manusia diberi karunia akal sebagai pembeda dari makhluk lainnya, sebuah amanah untuk mengenali jati dirinya hingga pada akhirnya mengenal Sang Pencipta. Imam Al-Ghazali pernah menyatakan: "Man ‘arofa nafsahu, faqod ‘arofa rabbahu" (barang siapa mengenal dirinya, sungguh dia telah mengenal Tuhannya). Kontemplasi terhadap diri sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Al-Ghazali, adalah salah satu jalan menuju pengenalan terhadap Tuhan.
Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang tasawwuf falsafi, penting untuk memahami apa itu tasawwuf dan filsafat secara umum.
Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf, baik secara etimologi maupun terminologi, belum memiliki definisi yang absolut. Beberapa pandangan mengenai tasawwuf di antaranya:
1. Al-Junaid: Tasawwuf adalah hubungan langsung antara manusia dan Tuhan tanpa perantara.
2. Sahl bin Abdullah: Tasawwuf adalah sedikit makan, tenang bersama Allah, dan menjauhi keramaian.
3. Abu Muhammad Al-Jariri: Tasawwuf adalah pengamalan akhlak tinggi dan menjauhi akhlak rendah.
Menurut Taftazani, tasawwuf secara umum adalah falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan moral manusia melalui latihan-latihan spiritual tertentu, hingga mencapai fana (pelebur dalam Tuhan) dan memperoleh pengetahuan intuitif tentang-Nya.
Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani: philein (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), yang berarti cinta kebijaksanaan. Pythagoras, filsuf Yunani, adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah ini. Filsafat secara terminologi adalah pemikiran kritis untuk memahami sebab-sebab, asas-asas, dan kebenaran di balik keberadaan sesuatu.
Bertrand Russell mendefinisikan filsafat sebagai usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental secara kritis, sementara R. Beerling melihat filsafat sebagai pemikiran radikal berdasarkan pengalaman yang didorong oleh rasionalitas.
Tasawwuf Falsafi: Integrasi Mistisisme dan Rasionalitas
Tasawwuf falsafi adalah cabang tasawwuf yang mengintegrasikan mistisisme dengan filsafat. Ajaran ini memadukan visi mistik dengan logika rasional, memanfaatkan pengaruh filsafat luar seperti Nasrani, India, dan Persia. Meski begitu, ajaran ini tetap menjaga norma-norma Islam.
Tasawwuf falsafi menggunakan terminologi filosofis, sehingga aplikasinya sering kali kompleks dan sulit dipahami. Ajaran ini mulai muncul pada abad VI Hijriyah, ditandai dengan ungkapan-ungkapan mistis yang bersifat ambigu (syatahat).
Para penganut tasawwuf falsafi menggabungkan akal dan hati sebagai instrumen utama dalam mengenal Tuhan. Akal, meski terbatas, digunakan untuk memahami hal-hal rasional, sementara hati berperan dalam memahami aspek-aspek mistis yang intuitif.
Karakteristik Tasawwuf Falsafi
Menurut Solihin dan Anwar dalam Kamus Tasawwuf, tasawwuf falsafi memiliki beberapa karakteristik:
1. Menggabungkan pemikiran rasional dan filosofis.
2. Latihan rohani (riyadhah) untuk meraih kebahagiaan.
3. Menggunakan iluminasi sebagai metode untuk mengetahui hakikat.
4. Penggunaan simbol-simbol dan terminologi khusus.
Tokoh-Tokoh Tasawwuf Falsafi
Beberapa tokoh penting dalam tasawwuf falsafi:
1. Ibnu Arabi (w. 638 H) – Konsep wahdah al-wujud.
2. Suhrowardi Al-Maqtul (w. 549 H) – Konsep isyraqiyah.
3. Dhun Nun Al-Misri (w. 245 H).
4. Abu Yazid Al-Bustami (w. 261 H).
5. Al-Hallaj (w. 309 H) – Konsep hulul.
Di Nusantara, tasawwuf falsafi diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti Hamzah Al-Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abd Rauf Al-Singkili di Sumatera, dan Syaikh Siti Jenar di Jawa dengan konsep manunggaling kawula gusti.
Relevansi Tasawwuf Falsafi
Tasawwuf falsafi mencerminkan dinamika intelektual Islam ketika berinteraksi dengan filsafat Yunani melalui penerjemahan karya-karya besar. Meski banyak yang mengkritik, ajaran ini menjadi salah satu pintu masuk bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Tasawwuf falsafi menegaskan bahwa mengenal Tuhan tidak hanya melalui hati, tetapi juga dengan akal, yang keduanya merupakan anugerah dari-Nya. Pendekatan ini memperkaya wawasan spiritual Islam dan memberikan landasan filosofis yang mendalam dalam memahami Sang Maha Kekal. (*)