Mencari Penjaga Bhinneka Tunggal Ika di Era Medsos

Mencari Penjaga Bhinneka Tunggal Ika di Era Medsos
Erwin Dariyanto

RIAUTERBIT.COM - Kurang lebih pada tahun 1365 sampai 1389 Masehi, Mpu Tantular menggubah Kakawin Sutasoma. Salah satu bait dalam kakawin yang dirakit di masa menjelang kejayaan Kerajaan Majapahit itu kini menjadi semboyan bangsa ini: Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu juga.

Dalam Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menulis sebuah ungkapan, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Dengan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, Mpu Tantular membuat rumusan agar terwujud hubungan antar agama dapat selaras tanpa kedua agama tersebut harus melebur menjadi satu.

Konsep sang pujangga lahir setelah melihat bahwa di Majapahit saat itu ada berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dua di antaranya adalah Hindu Siwa dan Buddha Mahayana. Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, Mpu Tantular ingin menjembatani perbedaan berbagai aliran keagamaan yang ada di Majapahit saat itu.

Atas gagasan Mpu Tantular itulah toleransi umat beragama di Kerajaan Majapahit bisa terjalin. Mpu Tantular yang merupakan seorang penganut Buddha Tantrayana, merasakan hidup aman dan tentram di kerajaan Majapahit yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Bila kemudian Kerajaan Majapahit runtuh beberapa tahun setelah Kakawin Sutasoma muncul, itu bukan karena konflik agama atau terkoyaknya toleransi. Keruntuhan Kerajaan Majapahit akibat perang saudara yang berkepanjangan.

Sekira 580 tahun kemudian para pendiri bangsa ini, seperti: Sukarno, Muhammad Yamin dan Mr. Soepomo memiliki gagasan dan semangat serupa Mpu Tantular. Mereka ingin ada satu hal yang bisa menjembatani perbedaan antar suku, agama dan ras yang ada di Indonesia.

Dalam soal beragama, Sukarno muda menekankan perlunya masyarakat diberikan keleluasaan dalam beribadah dan saling menghormati satu dengan yang lain. Masyarakat harus mengamalkan ajaran agama dengan cara berkeadaban.

"Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme agama." Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama... dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain." Begitu kata Bung Karno dalam pidatonya di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.

Gagasan Mohammad Yamin, Mr. Soepomo dan Sukarno itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila yang di dalamnya mengatur soal toleransi kehidupan beragama. Masih di sela sidang BPUPKI, Muhammad Yamin mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan negara. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan negara dan berlaku sejak tanggal 8 Februari 1950.

Begitulah para pendiri bangsa ini merancang sebuah sesanti untuk menyatukan perbedaan di Indonesia. Mereka menyadari betul keberagaman masyarakat Indonesia bisa menimbulkan perpecahan bila tak disatukan dalam satu semangat dan semboyan yang sama. Maka lahirlah Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Dalam separuh abad lebih perjalanan Republik ini, Bhinneka Tunggal Ika senantiasa mengalami ujian. Cobaan atas toleransi keberagaman itu terus datang bertubi-tubi di era media sosial akhir-akhir ini. Provokasi intoleransi marak di media sosial dan rentan mengganggu sendi-sendi kerukunan masyarakat.

Fenomena intoleransi di media sosial tak bisa dianggap remeh. Informasi di media sosial berpotensi besar mempengaruhi opini publik. Hal inilah yang berpotensi mengganggu kebhinekaan. Pemerintah harus bergerak cepat membendung potensi pecahnya kebhinekaan akibat provokasi di media sosial.

Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kepolisian Negara RI harus bersinergi untuk mengatasi maraknya provokasi di media sosial. Pemerintah salah satunya bisa membentuk Tim Satuan Tugas Khusus.

Satgas tak hanya melakukan penindakan terhadap orang yang diduga melakukan provokasi di dunia maya. Mereka juga bertugas meluruskan secara cepat informasi sesat yang disebarkan oleh si provokator. Tim harus bergerak cepat karena terlambat sedikit bisa berakibat fatal.

Dan yang tak kalah penting, pejabat negara, tokoh politik, pemuka agama dan semua orang berpengaruh di negeri ini harus mulai bersikap dewasa. Cukupkan sudah perdebatan-perdebatan tidak produktif yang hanya menguras tenaga dan energi.

Negeri ini butuh tokoh pemersatu untuk menjaga sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang digaungkan oleh Mpu Tantular dan kemudian semangatnya dilanjutkan oleh Sukarno, Muhammad Yamin dan Mr. Soepomo.

*) Erwin Dariyanto adalah jurnalis di detikcom. Tulisan ini mewakili pendapat pribadi, bukan pendapat institusi di mana penulis berkarya.(dtc)

Berita Lainnya

Index