Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Muhamad Nasir, menginspeksi mendadak (sidak) dua perguruan tinggi pada Kamis, 21 Mei 2015. Satu kampus di Bekasi dan yang lain di Jakarta. Kedua lembaga pendidikan tinggi itu ditengarai menjalankan praktik ilegal jual-beli ijazah dan menerbitkan ijazah bodong alias palsu.
Kampus yang berlokasi di Bekasi adalah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga. Sedangkan perguruan tinggi yang berada di Jakarta ialah Lembaga Manajemen Internasional Indonesia (LMII) University of Berkley.
STIE Adhy Niaga, berdasarkan laporan masyarakat kepada Kementerian, diindikasikan menerbitkan ijazah sarjana (strata 1) tetapi mahasiswa tak perlu menjalani perkuliahan sebagaimana mestinya dan prosedur akademik lain. Syaratnya cukup mudah, yakni membayar sejumlah uang untuk biaya perkuliahan sekian semester.
Sedangkan University of Berkley diklaim sebagai cabang di Jakarta dari Universitas California atau Universitas Berkeley di San Francisco, Amerika Serikat. Kampus ini juga dilaporkan memungut sejumlah bayaran yang disebut sebagai biaya perkuliahan jarak jauh.
Bantahan
STIE Adhy Niaga menepis tuduhan berpraktik ilegal menjual ijazah. Sang Ketua Yayasan lembaga pendidikan itu, Adi Firdaus, mengatakan perkuliahan di kampusnya berlangsung sebagaimana mestinya, tak ada mahasiswa yang menerima ijazah tanpa melewati proses kuliah maupun prosedur lain.
Kalau pun ditemukan atau dilaporkan ada praktik jual-beli ijazah, Adi memastikan itu adalah oknum tak bertanggung jawab yang berada di luar pengawasan kampus. "Yang pasti, kita tidak menjual ijazah. Kalau pindahan, nilai SKS (satuan kredit semester) dari tempat asal harus sesuai. Kita lihat dulu, sebelum diterima," katanya dalam konferensi pers segera seusai sidak Menteri.
Adi juga mengoreksi laporan Kemenristek yang menyatakan kampusnya meluluskan para mahasiswa, padahal total SKS mereka tidak mencukupi untuk lulus. Dia justru meragukan laporan Kemenristek berdasarkan bukti yang sahih, misalnya, ijazah yang diindikasikan diterbitkan secara ilegal.
Kalau pun ada buktinya, dia meminta Menteri menunjukkan sehingga dapat diverifikasi benarkah ijazah itu diterbitkan STIE Adhy Niaga atau dipalsukan oleh pihak lain. “Karena di kami, ijazah ada kodenya khusus, sehingga tahu ini yang dikeluarkan kita atau bukan.”
Kampus University of Berkley yang berlokasi di lantai II Gedung Yarnati, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, sejauh ini tak membantah atau membenarkan tengara ijazah palsu itu. Saat disidak Menteri, tak ada orang berwenang atau pengelola LMII. Kampus atau ruangan yang disebut bagian dari perguruan tinggi itu cuma sebuah bilik berukuran 6x4 meter. Hanya ada dua perabot meja tulis dan sejumlah kursi.
Menteri Nasir belum memvonis dua kampus itu berpraktik ilegal karena masih dalam tahap investigasi. Dia mengungkapkan sejumlah laporan masyarakat, misalnya, STIE Adhy Niaga yang disebut meluluskan para mahasiswa meski mereka belum memenuhi kewajiban keseluruhan SKS.
"Ada yang tercatat baru berkuliah enam SKS, tetapi boleh ikut wisuda," ujar Menteri.
STIE Adhy Niaga, Menteri menambahkan, bahkan terdaftar dalam data Dikti sebagai perguruan tinggi yang tidak aktif. Tetapi kampus itu disebut telah berdiri sejak tahun 1999 dan mewisuda 200 sarjana dua kali dalam setahun. Kini ada tiga ribu mahasiswa yang terdaftar di kampus itu.
Laporan tentang LMII Universitas Berkley ialah kampus itu disebut atau diklaim sebagai cabang Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Ada perbedaan kecil pada nama kedua kampus itu, yakni Berkley dan Berkeley, yang dinilai hanya untuk menyamarkan atau mengelabui. Tapi LMII terdaftar sebagai tempat kursus, bukan perguruan tinggi.
Ada 147 alumnus dengan ijazah palsu yang dikeluarkan lembaga itu. Merujuk daftar alumnus LMII, umumnya mereka memiliki ijazah strata 3 atau bergelar doktor yang tidak terdaftar di Pangkalan Data Kementerian Ristek dan Dikti. Para alumnus berprofesi mulai dari manajer perusahaan, pejabat kepolisian, hingga rektor perguruan tinggi. Dua rektor perguruan tinggi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, termasuk yang tercantum dalam daftar itu.
"Jenderal-jenderal banyak yang ikut kuliah dan lulus dari Berkley University. Para pejabat negara dan politisi pun termasuk dalam lulusan universitas ini," ujar Menteri tanpa menyebut identitas jenderal maupun pejabat yang dimaksud.
Laporan masyarakat
Kementerian sesungguhnya tak hanya menerima dua pengaduan masyarakat tentang kampus STIE Adhy Niaga dan Universitas Berkley. Ada 17 perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta satu perguruan tinggi di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kasus yang dilaporkan bervariasi. Ada kampus yang menyelenggarakan perkuliahan tak sesuai prosedur lazim namun mudah menerbitkan ijazah. Ada juga kampus yang tak mewajibkan mahasiswanya menjalani kuliah namun bisa mendapatkan ijazah dengan membayar sejumlah uang. Modus operandi yang lain ialah memalsukan izin penyelenggaraan pendidikan tinggi atau menyelenggarakan perkuliahan fiktif namun sang mahasiswa tetap mendapatkan ijazah.
Menteri menyederhanakan ijazah yang ditempuh dengan macam-macam praktik ilegal itu sebagai ijazah asli tapi palsu. Disebut asli karena resmi diterbitkan oleh lembaga pendidikan tinggi namun dikatakan palsu karena mahasiswa tidak mengikuti perkuliahan yang semestinya.
Dia mengingatkan bahwa sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 263 ayat 1 tentang pembuatan surat palsu atau memalsukan surat, pelaku diancam hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
Peraturan lain tertera pada Pasal 69 Ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
Namun Menteri menyerahkan sepenuhnya proses hukum terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam jual-beli atau memalsukan ijazah itu kepada Kepolisian. Kalau ada oknum yang terbukti terlibat dalam praktik ilegal itu, harus diadili dan dihukum sesuai peraturan perundangan.
Pemerintah, kata Menteri, tak menoleransi praktik yang mencederai nilai-nilai akademik dan intelektual pendidikan itu. "Jika ada perguruan tinggi yang terbukti melakukan (jual-beli ijazah) itu, saya tidak segan-segan untuk mempidanakan pelakunya dan menutup kampusnya.”
Bukan komoditas
Menteri juga meminta masyarakat turut mengawasi perguruan tinggi. Kalau mengetahui terjadi praktik jual-beli ijazah, masyarakat diminta tak segan melaporkan kepada Kementerian. Laporan sekecil apa pun pasti ditindaklanjuti karena Kementerian berkepentingan memastikan semua perguruan tinggi bebas dari praktik tercela itu.
Menteri meminta pengertian masyarakat bahwa jika ingin mendapatkan ijazah perguruan tinggi, semua orang wajib kuliah dengan ketentuan akademik yang diberlakukan. Ijazah bukan komoditas yang diperjualbelikan seperti di pasar sehingga siapa pun wajib menjalani perkuliahan dan prosedur lain jika ingin mendapatkannya.
"Kalau lembaga perguruan tinggi jadi berorientasi profit, orang jadi berpikir usaha, soal untung-rugi, ada permintaan dan penawaran. Jadi, jangan sampai perguruan tinggi menjadi perusahaan laba," kata Nasir.
Pendidikan tinggi, Menteri menambahkan, harus adil dalam menjalankan aturan. Segala bentuk pelanggaran yang disengaja, tidak boleh ditoleransi. "Kalau kita tidak tegas dalam menegakan aturan, bisa jadi perilaku nakal itu akan terus ada dan pendidikan tinggi kita tidak akan pernah maju," ujarnya.
Karena itu, Kementerian segera membentuk satuan tugas khusus (satgasus) untuk mencegah atau menindak praktik jual-beli atau pemalsuan ijazah. Satgasus itu dapat menerima pengaduan masyarakat apabila menemukan praktik jual-beli atau pemalsuan ijazah yang kemudian diteruskan kepada aparat penegak hukum.
Menteri mengakui bahwa praktik ilegal jual-beli atau pemalsuan ijazah itu sudah lama, bahkan sejak tahun 2007. Namun kala itu baru sebatas rumor atau kabar yang susah dibuktikan. Baru belakangan ada laporan konkret dari masyarakat yang masuk kepada Kemenristek, yakni pada April 2015 dan ditindaklanjuti sebulan kemudian.
Sejauh ini belum ada pelaporan resmi dari Kemenristek kepada Polisi. Polisi pun belum menentukan unsur pidana dalam kasus itu karena masih dalam tahap penelusuran dan penyelidikan.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Badrodin Haiti, mengatakan bahwa penyidik polisi telah berkoordinasi dengan Kemenristek Dikti. Namun belum diketahui pasti jenis pemalsuannya, begitu juga kampus yang ditengarai berpraktik ilegal itu.
Menurut Badrodin, Polisi perlu terlebih dahulu memastikan beberapa hal, di antaranya, membuktikan palsu atau asli, bentuk atau jenis pemalsuan, modus operandi pemalsuan, dan lain-lain. Soalnya dilaporkan ada kampus yang menerbitkan ijazah asli, tetapi prosesnya tak lazim, seperti mahasiswa tak perlu menjalani perkuliahan sebagaimana mestinya.
"Kita harus membuktikan apakah benar itu palsu atau tidak. Palsu ini modelnya bagaimana. Apakah perguruan tinggi itu yang mengeluarkan atau pihak lain," kata Badrodin di Markas Besar Polri di Jakarta, Jumat, 22 Mei 2015.
Kapolri menjelaskan bahwa proses lanjutan bisa saja Kemenristek Dikti yang mengusut perguruan tinggi itu. Namun tidak menutup kemungkinan akan diproses penyidik pada Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. "Pidana juga bisa kalau memang ada yang dirugikan dengan persoalan ini," katanya.
Ada permintaan
Organisasi Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) membenarkan indikasi praktik jual-beli atau pemalsuan ijazah itu sesungguhnya berlangsung sejak lama. Namun memang baru belakangan upaya pengungkapan kasus itu diseriusi setelah Kemenristek menerima banyak laporan.
Menurut Ketua AIPI, Sangkot Marzuki, praktik terlarang itu terjadi sesungguhnya karena memang banyak permintaan atau banyak yang membutuhkan dan bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya. Ijazah palsu kerap digunakan untuk persyaratan atau kualifikasi kenaikan pangkat.
"Ada pasarnya dan juga pembelinya. Pembelinya adalah orang-orang yang bisa membayar. Ini sudah menjadi penyakit di Indonesia," kata Sangkot di Jakarta, Minggu, 24 Mei 2015.
Indonesia Police Watch (IPW) pernah meneliti dan menelusuri praktik jual-beli ijazah pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Sedikitnya ada tiga modus operandi. Pertama, ada oknum perguruan tinggi yang memanfaatkan nomor induk mahasiswa yang drop out atau dikeluarkan, kemudian dipakai calon mahasiswa lain.
Mereka yang berminat memanfaatkan jasa ilegal itu dapat mengikuti kuliah tidak harus dari semester pertama tetapi bisa pada semester keempat, kelima, keenam, dan seterusnya. Syaratnya ialah membayar penuh biaya kuliah selama delapan semester.
Modus kedua ialah calon mahasiswa bisa kuliah atau tidak tetapi dijamin lulus saat ujian. Syaratnya sama, yakni membayar penuh biaya kuliah selama delapan semester. Ketiga, calon mahasiswa tak perlu menjalani perkuliahan maupun ujian namun membayar penuh biaya kuliah dan ujian selama delapan semester.
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, berpendapat bahwa komersialisasi ijazah itu jelas merusak citra pendidikan dan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan tinggi. Kemenristek Dikti telah mengungkap dugaan praktik tercela itu dan kini menjadi tugas Polisi untuk mengusutnya.
"Polri harus bekerja cepat melakukan penggerebekan dan penyitaan ke lembaga-lembaga pendidikan yang dicurigai sebelum mereka menghilangkan barang bukti," kata Neta melalui keterangan tertulisnya, Senin, 25 Mei 2015.