Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Siak Tahun 2024 merupakan bukti bahwa keadilan elektoral tetap menjadi prioritas dalam sistem demokrasi kita. MK, dalam amar putusannya, secara tegas memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 3 Desa Jayapura, TPS 3 Desa Buantan Besar, serta di RSUD Tengku Rafi’an.
Putusan ini bukan sekadar koreksi administratif, tetapi lebih dari itu, merupakan upaya untuk menjaga hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Hak memilih adalah hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945, dan setiap pelanggaran terhadapnya, baik karena kelalaian penyelenggara maupun hambatan teknis, harus dikoreksi.
Salah satu aspek menarik dalam pertimbangan MK adalah perhatian terhadap pasien, pendamping pasien, serta tenaga medis di RSUD Tengku Rafi’an yang tidak dapat menyalurkan hak pilihnya pada 27 November 2024. Fakta bahwa tidak adanya fasilitasi bagi mereka untuk memilih menunjukkan celah dalam sistem pemilu kita, di mana pemilih dalam kondisi tertentu masih menghadapi hambatan untuk berpartisipasi.
Selain itu, di TPS 3 Desa Jayapura dan TPS 3 Desa Buantan Besar, MK menemukan bukti nyata bahwa banyak pemilih tidak menerima surat undangan memilih (C.Pemberitahuan), baik karena kelalaian petugas maupun mekanisme distribusi yang tidak sesuai aturan. Ini adalah pelanggaran serius, karena dalam sistem pemilu yang sehat, akses terhadap informasi dan kemudahan dalam menyalurkan hak pilih harus dijamin.
Putusan ini sekaligus menjadi peringatan bagi penyelenggara pemilu di semua tingkatan. KPU dan jajarannya harus lebih cermat dalam memastikan bahwa setiap pemilih yang berhak tidak kehilangan hak suaranya karena kelalaian teknis. Selain itu, pengawasan yang lebih ketat dari Bawaslu menjadi keharusan agar kejadian serupa tidak terulang di pemilu mendatang.
Dari perspektif hukum, langkah MK ini merupakan wujud nyata dari prinsip fairness dalam pemilu. PSU di TPS yang bermasalah serta pembentukan TPS di lokasi khusus untuk RSUD Tengku Rafi’an adalah solusi yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga berbasis keadilan substantif.
Ke depan, tantangan utama adalah memastikan PSU berjalan sesuai putusan MK tanpa kendala dan tanpa potensi pelanggaran baru. Semua pihak, dari KPU, Bawaslu, aparat keamanan, hingga masyarakat sipil, harus berperan aktif dalam mengawal proses ini agar hasil akhirnya benar-benar mencerminkan suara rakyat yang sah.
Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang sejauh mana hak-hak warga negara dihormati dalam setiap prosesnya. Putusan MK dalam kasus Pilkada Siak adalah pengingat bahwa dalam demokrasi, setiap suara memiliki nilai dan tidak boleh ada satu pun pemilih yang kehilangan haknya karena kelalaian sistem.
Penulis Mayandri Suzarman, Advokat & Pengamat Hukum Indonesia