Pekanbaru – Keberadaan ratusan pengungsi Rohingya di Pekanbaru kembali menjadi perbincangan hangat. Bermula dari tragedi kemanusiaan di Myanmar, para pengungsi ini kini menghadapi tantangan baru: penolakan dari masyarakat sekitar akibat sejumlah masalah yang muncul sejak mereka ditempatkan di wilayah Kulim.
Sejarah Kedatangan yang Penuh Derita
Pada pertengahan 2023, sebuah kapal kayu yang membawa sekitar 200 pengungsi Rohingya terdampar di perairan Selat Malaka. Kapal itu membawa pria, wanita, dan anak-anak yang mengarungi lautan selama berminggu-minggu demi menghindari kekerasan di negara asal mereka, Myanmar.
Setelah ditemukan oleh nelayan lokal, mereka diselamatkan dan dibawa ke daratan. Pemerintah Provinsi Riau, bersama UNHCR dan IOM, segera memberikan bantuan kemanusiaan. Para pengungsi sementara ditempatkan di kawasan Purna MTQ Pekanbaru, sebuah lokasi yang dianggap strategis dan cukup memadai untuk menampung mereka.
Namun, keberadaan mereka mulai menimbulkan gesekan dengan warga sekitar. Sejumlah laporan tentang pengungsi yang meminta-minta dan dinilai mengganggu kenyamanan masyarakat memicu protes. Untuk meredakan konflik, pemerintah memutuskan untuk memindahkan mereka ke daerah Kulim pada awal 2024.
Masalah Baru di Kulim
Meski telah dipindahkan ke lokasi yang lebih terpencil, permasalahan tidak berhenti di situ. Warga Kulim mulai melaporkan kejadian serupa, bahkan semakin sering. Sejumlah pengungsi diketahui meminta-minta dari rumah ke rumah. Beberapa di antaranya dilaporkan mengambil buah dari pohon milik warga tanpa izin.
Ibu Sri (45), salah satu warga Kulim, mengungkapkan bahwa dirinya sering didatangi pengungsi Rohingya yang meminta makanan. "Awalnya saya kasihan, mereka terlihat sangat membutuhkan. Tapi lama-lama, ada yang sampai mengambil buah di halaman tanpa izin. Kalau begini, warga jadi tidak nyaman," ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Pak Ahmad (50), seorang petani lokal. Ia mengaku kehilangan hasil panen buah mangga di kebunnya. "Kami tidak ingin bermusuhan, tapi harus ada aturan yang jelas. Jangan sampai ini terus merugikan warga," keluhnya.
Komentar Pengamat Kebijakan Publik: Pemerintah Harus Bertindak Tegas
Situasi ini mendapat perhatian dari Alamsah, SH, MH, seorang pemerhati kebijakan publik. Ia menilai, pemerintah perlu segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Keberadaan pengungsi Rohingya di Pekanbaru menimbulkan tantangan besar, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah harus segera mencari solusi konkret, salah satunya dengan memulangkan mereka ke negara asal atau memindahkan mereka ke negara lain yang bersedia memberikan suaka permanen," kata Alamsah kepada Tempo, Minggu (22/12/2024).
Menurut Alamsah, langkah ini penting untuk mencegah gesekan sosial yang semakin meluas. "Hak asasi manusia mereka harus tetap dihormati, tapi pemerintah juga tidak boleh mengabaikan kenyamanan masyarakat setempat," tambahnya.
Langkah Pemerintah dan Organisasi Internasional
Pemerintah Kota Pekanbaru, bersama UNHCR dan IOM, telah meningkatkan pengawasan di lokasi penampungan di Kulim. Selain itu, mereka juga mempercepat distribusi kebutuhan dasar seperti makanan dan air bersih untuk mengurangi ketergantungan pengungsi pada bantuan warga sekitar.
"Kami terus melakukan pendekatan kepada para pengungsi agar mereka memahami aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Kami juga melakukan mediasi dengan warga setempat untuk menjaga keharmonisan," ujar seorang pejabat dari Dinas Sosial Pekanbaru.
Namun, menurut beberapa pengamat, langkah ini belum cukup. Hingga saat ini, belum ada kepastian tentang masa depan para pengungsi Rohingya di Pekanbaru.
Dilema Negara Transit
Sebagai negara transit, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi secara permanen. Namun, sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tetap harus memberikan perlindungan sementara sesuai dengan prinsip kemanusiaan.
"Posisi Indonesia sebagai negara transit mempersulit pemerintah dalam mengambil keputusan. Kita tidak bisa memulangkan mereka ke Myanmar karena situasi di sana masih belum aman. Di sisi lain, negara-negara pemberi suaka seperti Australia dan Kanada juga tidak selalu siap menerima pengungsi dalam jumlah besar," jelas Alamsah.
Harapan dan Solusi Jangka Panjang
Keberadaan pengungsi Rohingya di Pekanbaru mencerminkan krisis kemanusiaan global yang membutuhkan solusi internasional. Hingga solusi permanen ditemukan, interaksi antara pengungsi dan warga setempat harus dikelola dengan baik untuk mencegah konflik lebih lanjut.
"Yang kita butuhkan adalah kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan organisasi internasional. Jangan sampai ini menjadi bom waktu yang merugikan semua pihak," tutup Alamsah.
Sementara itu, warga Kulim berharap pemerintah dapat segera menemukan solusi. "Kami ingin hidup tenang tanpa merasa terganggu, tapi kami juga ingin mereka mendapatkan tempat yang layak," ujar Pak Ahmad.
Seiring waktu, keberadaan pengungsi Rohingya di Pekanbaru tetap menjadi tantangan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Pemerintah dituntut untuk bertindak cepat agar simpati yang awalnya dirasakan masyarakat tidak berubah menjadi antipati. (TIM MEDIA)