RTRW Riau Tak Jelas Salahsatu Penyebab Berlarutnya Karhutla

RTRW Riau Tak Jelas Salahsatu Penyebab Berlarutnya Karhutla
Peta Riau

Pekanbaru, (Riauterbit.com)-Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau sudah terjadi sejak dekadi 90-an. Banyak pendapat bermunculan kenapa masalah ini tak kunjung selesai. Diantaranya, penegakan hukum lemah, hingga menyalahkan petani yang mempunyai kebiasaan membakar untuk perkebunan.

Namun menurut praktisi hukum di Riau, Hotland Simanjuntak SH MHum, 'kekalnya' Karhutla di Riau karena adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan tak kunjung selesainya revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau.

Carut-marut RTRW Riau sejak dekade 90-an itu menjadi modus operandi oknum tak bertanggungjawab dalam melegalkan memperoleh lahan yang merupakan kawasan hutan negara.

"Hal ini bisa dilihat tiap tahun. Sebagian besar titik api berada di kawasan hutan," ungkap Hotland saat berbincang-bincang di Kantor Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Advokad Muda (DPD-HAMI) Provinsi Riau-Kepulauan Riau, Jumat (11/9/2015).

Ketua Dewan Pembina DPD-HAMI Riau-Kepri ini menjelaskan, sejumlah pihak diduga ingin memanfaatkan kawasan-kawasan hutan Riau menjadi sebuah perkebunan yang kemudian dialihfungsikan.

"Lahan yang terbakar tersebut kemudian nantinya akan diusulkan ke dalam usulan revisi RTRW Riau. Jika disahkan, maka akan ada ganti rugi," ujar Hotland, didampingi pengurus DPD HAMI Riau-Kepri lainnya, Kadri dan Wan Subiantriarti.

Hotland yang mengaku sudah lama mengamati permasalahan RTRW ini jua menyatakan, persoalan Karhutla terjadi karena tidak adanya kepastian hukum pola kawasan hutan di Riau.

"Tidak adanya kepastian hukum inilah diduga menjadi salah satu pemicu Karhutla yang mengakibatkan timbulnya kabut asap di Riau," lanjut Hotland

Diterangkan Hotland, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 673 Tahun 2014 tentang Perubahan dan Peruntukkan Kawasan Hutan Riau, yang diserahkan langsung oleh Menhut saat itu, Zulkifli Hasan, pada Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Riau ke-57, belum memiliki sebuah aturan yang tegas.

"SK tersebut tidak dilampirkan peta perubahan struktur kawasan dan penunjukan kawasan serta penetapan kawasan hutan. Itu belum bersifat final dan memiliki kepastian hukum. Makanya direvisi lagi," lanjutnya.

Maka jelas, sebut Hotland, seluruh titik-titik api di atas kawasan yang belum memiliki penetapan kawasan hutan, dan seharusnya menjadi tindaklanjut dari pada SK tersebut, adalah sebuah rangkaian perbuatan melawan hukum. "Hal tersebut wajib dilakukan penyelidikan dan penyidikan berikut tindakan hukum," tegas Hotland.

Lebih lanjut, Hotland menyatakan kalau Presiden RI Jokowi sepatutnya memperhatikan dan mengawasi secara langsung dan melakukan tindakan yang dipandang patut terhadap penyebab terjadinya asap di Riau. Jokowi diminta melakukan tindakan dan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dimaksud.

"Presiden juga harus berani mencabut izin dari pihak korporasi yang diduga menjadi penyebab terjadinya kabut asap tersebut," imbuhnya menegaskan.

Selain itu, Hotland menghimbau pemerinta agar jangan hanya menghukum pembakar lahan, namun harus mengetahui dimana keberadaan titik-titik api tersebut. Apakah di atas kawasan hutan atau di atas lahan perizinan dan atau masuk ke dalam perkebunan rakyat atau bukan.

"Dengan demikian, transparansi dan proses penindakan hukum akan lebih terbuka bagi masyarakat, sehingga masyarakat menilai bahwa Instruksi Presiden Jokowi untuk melakukan upaya penindakan dan atau pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang diduga penyebab terjadinya kabut asap di Riau bukanlah basa-basi," tukasnya.

Menurut Hotland, Karhutla dengan kabut asapnya telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Riau. Seperti masalah kesehatan, pendidikan, perekonomian, dan aspek kehidupan lainnya.

"Bisa saja, masyarakat Riau menempuh upaya hukum Class Action (gugatan perwakilan,red), akibat kelalaian-kelalaian para pihak yang menyebabkan terjadinya kabut asap ini," pungkas Hotland. (Juf / Lipo)

Berita Lainnya

Index