RIAUTERBIT.COM - Meninggalnya seorang Muslim menimbulkan hak baginya dan kewajiban pada Muslim yang masih hidup. Almarhum atau almarhumah berhak dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan. Dalam kondisi normal, tata cara tajhiz aljanaiz atau pengurusan jenazah pun diatur secara perinci.
Jenazah harus dibersihkan dari najis, diwudhukan, dikafani, sampai dikuburkan. Namun, bagaimana jika kondisinya abnormal atau darurat tidak seperti biasanya seperti pada kasus jenazah Muslim yang terinfeksi Covid-19, bagaimana tata cara mengurusnya sesuai syariat Islam?
Menurut Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Soleh, dalam kondisi tertentu, seperti kasus jenazah terinfeksi Covid-19 ada kemudahan atau dispensasi pada prosedur pengurusan jenazahnya dari mulai memandikan hingga menguburkan.
Dia menilai, kemudahan ini didasarkan pada keselamatan jiwa baik orang yang menangani dalam hal ini petu gas medis maupun masyarakat luas. Menurut Asrorun, ketika terjadi benturan antara hak mayit dan kewajiban orang yang hidup, jalan pertama yang perlu ditempuh adalah harus mengkompromikan dalam hal tata cara pengurusan jenazah.
Menurut Asrorun, keduanya yakni hak mayit serta keselamatan jiwa orang yang hidup harus sama-sama bisa terpenuhi. Namun, bila tidak mungkin dikompromikan dan karena bila orang yang hidup menjalankan kewajibannya dapat menyebabkan kebinasaan, hak orang yang hidup harus didahulukan dibanding orang yang meninggal.
MUI sejatinya telah mengeluar kan Fatwa Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengurusan Jenazah Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Dalam fatwa itu disebutkan, Muslim yang wafat karena wabah mempunyai kedudukan utama, yakni sebagai syahid fil akhirah. Yakni orang dikualifikasi sebagai syahid, diampuni dosanya, dan masuk surga tanpa hisab. "Tapi di dunia haknya (sebagai jenazah) tetap dilaksanakan atau dipenuhi, yakni dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan. Pelaksa naannya tetap wajib menjaga kesela mat an orang yang hidup. Itu prinsip dasarnya," kata Asrorun saat mengisi webinar yang diselenggarakan ICTEC FKUI RSCM beberapa waktu lalu.
Asrorun menegaskan, dalam kondisi jenazah masih berpotensi menularkan virus atau penyakit maka menjaga diri agar tidak tertular menjadi kewajiban syar'i. Namun, bila tidak, kompromi dalam rangka memenuhi hak mayit dan orang yang hidup harus dilakukan. Dalam hal memandikan jenazah, bila masih ada potensi penularan virus, jenazah bisa dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya.
Apabila tidak ada potensi tersebut, harus dibuka terlebih bila pakaian terkena najis. Selain itu petugas yang memandikan juga wajib berjenis kelamin yang sama. Hal ini semata untuk menjaga ketentuan syari lainnya yakni terkait aurat.
Namun, jika tidak ada yang berjenis kelamin sama, bisa dimandikan oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah dimandikan dengan tetap memakai pakaian. Jika atas pertim bangan ahli tidak memungkinkan untuk dimandikan maka boleh diganti tayamum. "Jika menurut pandangan ahli yang terpercaya jika memandi kan atau mentayamumkan tidak mungkin karena membahayakan petugas, maka berdasarkan ketentuan darurah syariyah maka jenazah tidak dimandikan atau ditayamumkan," kata Asrorun.
Lebih lanjut, Asrorun menjelaskan, jenazah Muslim yang terinfeksi Covid-19 harus dikafani dengan kain yang menutupi seluruh tubuh. Bila dikhawatirkan terdapat keluarnya cairan dalam tubuh mayit yang dapat berpotensi terjadinya penularan Covid-19 maka setelah dikafani jenazah harus dilapisi kantong jenazah yang tidak tembus air.
Jenazah pun dimungkinkan untuk ditempatkan dalam peti jenazah. Jenazah dimiringkan ke kanan sehingga ketika dikuburkan jenazah menghadap kiblat. Sementara bila setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah, petugas dapat mengabaikan najis tersebut.
Selain itu, Asrorun menjelaskan jenazah disholatkan dengan orang yang memiliki syarat rukun shalat, suci dari hadas dan najis. Menurut Asrorun, pelaksanaan sholat jenazah dapat dilakukan oleh satu orang, dan dapat dilakukan di tempat pemulasa ran atau lokasi pemakaman.
Asrorun juga menjelaskan peng ambilan jenazah terinfeksi Covid-19 secara paksa tidak dibenarkan karena tidak sejalan dengan prinsip syari dalam hal ini mempertimbang kan aspek kesehatan orang yang hidup. Ia menjelaskan bila terjadi pemaksaan perebutan jenazah maka boleh dihalangi semata-mata untuk keselamatan jiwa. (rep)