Bolehkah Keluarga tak Mampu berqurban dengan Ayam?

Bolehkah Keluarga tak Mampu berqurban dengan Ayam?
ilustrasi internet

RIAUTERBIT.COM - Hari raya umat Islam kedua adalah idul adhha yang identik dengan berkorban dengan penyembelihan hewan seperti sapi atau kambing untuk dibagikan kepada para fakir dan miskin. Pertanyaan sebagian orang, benarkah seorang yang tidak mampu membeli seharga kambing atau sapi tidak harus berqrban.

Tidak bolehkan berqurban semampunya dengan binatang semisal ayam yang hanya seharga 70-100 rb per ekor? Ahli fiqih dapat dipastikan akan menjawab golongan yang tidak mampu tidak perlu berkorban dan berkorban dengan ayam adalah tidak sah.

Namun benarkah hakekat dan tujuan syariat berqurban pada hari raya idul adha hanya untuk orang yang mampu secara ekonomi? Benarkah ada pemisahan kaya dan miskin, mampu dan tidak mampu dalam perayaan ibadah idul adha? . Mempelajari hakekat dan tujuan syariat berqurban di hari raya Idhul Adha harus merujuk pada sejarah awal mula syariat ini yaitu peristiwa Ibrahim dan Ismail yang diksahkan dalam al-Qur`an surat al-Shaffat ayat 100-113.

Dikisahkan bahwa Ibrahim dan istrinya siti Hajar lama sekali belum memiliki anak. Namun pada usia Ibrahim mencapai tua, ibrahim dianugerahi anak yang diberi nama Ismail. Suatu peristiwa yang sangat mengejutkan, setelah Ismail mencapai usia yang beranjak remaja, Ibrahim melalui mimpi diperintah Allah untuk menyembelih Ismail.

Dengan komunikasi yang baik antara bapak-anak yang diliputi dengan suasana batin yang penuh iman, maka perintah Allah untuk menyembelih Ismail diterima dan dilaksanakan.  Namun tidak sampai pisau tajam itu menggores leher Ismail, Allah menggantinya dengan seokor kambing gibas.

Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah, menghubungkan kisah mimpi Ibrahim menyembelih Ismail tersebut dengan tradisi pengorbanan manusia pada masa itu. Di Mesir, misalnya gadis cantik dipersembahkan kepada dewa sungai nil. Di Kan`an Irak bayi dipersembahkan kepada Dewa Baal. Suku Astec di Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada dewa matahari.

Mimpi Ibrahim menyembelih Ismail yang kemudian diganti kambing menegaskan penolakan terhadap tradisi pengorbanan manusia untuk dipersembahkan pada Tuhan. Allah melarang manusia dijadikan persembahan, karena Allah Maha Pengasih kepada manusia. 

Ibrahim sebagaimana dituturkan dalam beberapa epsisode kisah Ibrahim dalam al-Qur`an adalah pendobrak tradisi-tradisi yang diyakini dan diamalkan masyarakat masa itu.  Ibrahim dikenal berwatak rasional dan lurus yang disebut hanif. Pada surat al-Anbiya` 58-65, disebutkan bahwa Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang disembah masyarakat saat itu dan menyisakan satu berhala besar dengan dikalungi kapak yang digunakan menghancurkan berhala lainnya.

Ketika ditanyakan siapa yang menghancurkan berhala-berhala tersebut. Ibrahim menyatakan silakan ditanyakan pada berhala yang besar yang ada kapaknya. Bagaimana berhala yang berasal dari batu bisa ditanya? Kalau tidak bisa ditanya dan menjawab pertanyaan, bagaimana ia bisa dijadikan Tuhan?.

Dalam surat al-An`am ayat 75-79, Ibrahim juga mendobrak keyakinan masyarakat yang menyembah tata surya, matahari, bulan dan bintang. Bagaimana matahari yang kadang terbit dan kadang tenggelang bisa dijadikan Tuhan. Misi Ibrahim sebagai pendobrak tradisi dengan karakter yang rasional dan lurus tersebut dapat menjelaskan sikap penolakan kepada budaya mengorbankan manusia untuk persembahan kepada Tuhan.

Makna penolakan tersebut sesuai dengan isi surat al-Haj ayat 37 yang menegaskan bahwa tujuan melakukan qurban dengan binatang pada hari raya Idhul Adhha adalah bukan darah dan daging binatang itu sendiri tetapi ketaqwaan manusia. Taqwa adalah bentuk ketundukan manusia pada Tuhan dan kesediaan manusia untuk patuh pada Tuhan.

Maka yang perlu dipersembahkan kepada Tuhan adalah jiwa raga manusia itu sendiri dengan mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua apa yang dilarang Tuhan. Allah swt. tidak membutuhkan pengorbanan berupa manusia termasuk binatang.

Persembahan jiwa raga manusia kepada Tuhan bukan dengan cara menyakiti atau bahkan membunuh manusia. Yang harus dibunuh oleh manusia adalah ego keserakahannya, ego ketidakpuasannya, ego dahaganya pada kemegahan, yang cenderung melampaui batas dan merusak keteraturan.

Penyembelihan hewan ternak pada hari raya idhul adha dengan demikian merupakan wujud taqwa itu sendiri. Binatang ternak merupakan simbol kekayaan seseorang. Seorang yang kaya disimbolkan dengan kepemilikan sejumlah aset yang berwujud binatang ternak.

Seorang yang bertaqwa adalah seorang yang mengorbankan hartanya untuk kepentingan Allah swt., bukan untuk memenuhi kepuasaan dan kekuasaan pribadi. Daging binatang ternak juga sekaligus wujud makanan halal yang terbaik (halalan thoyiban) yang memiliki kandungan gizi tinggi, Dengan demikian sadaqah berupa daging kambing atau sapi merupakan bentuk sadaqah berupa makanan yang terbaik yang memiliki kandungan gizi tinggi.

Ibrahim memberikan teladan berqurban bersama anak dan istrinya. Hal itu menunjukkan bahwa jiwa yang berkorban, yang tunduk dibangun dari diri sendiri dan keluarganya.  Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang menunjukkan suatu nilai tersosialisasi dengan baik atau tidak  Bila dalam keluarga sudah tidak tertanam jiwa yang bersedia berkoban, maka antar anggota keluarga akan bersatu saling bahu membahu memperebutkan kekuasaan duniawi.

Sebagaimana dapat disaksikan hari ini, bagaimana suami istri dan anak membangun dinasti kekuasaan politik dan ekonomi. Ketika sang suami berhasil meraih satu jabatan strategis, maka anak, istri dan kerabat dekat berusaha melanggengkan kekuasaan yang diperoleh dengan turut memperebutkan posisi strategis lainnya. Maka tak heran juga ketika ada suami dan istri tertangkap tangan bersama oleh KPK dengan sangkaan korupsi. 

Berdasarkan pembahasan terhadap hubungan antara beberapa ayat al-Qur`an tentang syariat berkorban di atas, diketahui bahwa pandangan tentang ibadah berkorban pada hari raya idhul adha sebagai ibadah bagi orang mampu atau orang yang kaya saja, adalah tidak tepat.

Sebagaimana yang terjadi sekarang ini, alih-alih, hari raya Idhul adhha menjadi ajang introspeksi diri, sejauhmana ketundukkan dan kepasrahan kita kepada Allah swt, justru Idhul Adha jadi ajang mempertontonkan adanya kesenjangan antara kaya dan miskin.

Bahkan di kota-kota besar, orang-orang kaya yang pongah jor-joran berqurban dengan sapi yang paling gemuk sedangkan kelompok fakir miskin antri dalam kondisi panas dan berdesakan di depan masjid untuk mendapatkan daging. Sungguh satu ironi, pihak yang menyerahkan hewan untuk dikorbankan tidak mendapat kesadaran baru untuk mengorbankan jiwa raganya untuk tunduk pada ajaran Allah swt.

Berqurban masih menjadi ritual yang tidak berdamapak pada perubahan tatanan kehidupan menjadi lebih.

Memang aturan dalam hukum Islam berqurban dalam hari raya Idhul Adha adalah dengan menyembelih sapi atau kambing. Tetapi tujuan dan hakekat berkorban bukan hanya penyerahan hewan yang disaratkan tersebut. Berkorban adalah mengorbankan ego untuk tunduk dan patuh pada Allah swt, sehingga kehidapan tidak menjadi kacau karena keserakahan manusia.

Ibadah qurbanr adalah wajib bagi semua umat manusia tanpa pandang bulu status sosial, politik dan ekonomi, sehingga dicapai tatanan kehidupan yang teratur, harmoni dan berkeadilan. (rep)

Berita Lainnya

Index