Riau – Ketua Elang 3 Hambalang Riau, Pebriyan Winaldi, mendesak Mabes Polri segera menangkap H Alwi, yang diduga menggelapkan dana koperasi hingga mencapai Rp1 triliun. Dugaan ini berkaitan dengan pengelolaan hasil panen sawit seluas 2.100 hektare milik masyarakat Desa Senama Nenek yang dianggap tidak transparan oleh Koperasi Nenek Eno Senama Nenek (KNES).
Pebriyan menyatakan dirinya akan bertemu dengan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, di Solo untuk membahas dugaan kecurangan yang dilakukan oleh H Alwi.
Ia juga menegaskan bahwa ia akan berangkat bersama Datuk-Datuk dan Ninik Mamak dari Desa Senama Nenek untuk menyampaikan langsung keluhan masyarakat kepada Presiden ke 7 dan mendesak mabes Polri tangkap H Alwi dan sejumlah mafia.
Pebriyan menjelaskan bahwa pada Desember 2019, Presiden Jokowi melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI telah membagikan 2.800 hektare lahan perkebunan kepada masyarakat Desa Senama Nenek. Dari total lahan tersebut, 2.100 hektare merupakan kebun kelapa sawit produktif yang sebelumnya dikelola oleh PTPN V sebagai bagian dari penyelesaian konflik lahan antara masyarakat adat Senama Nenek dan PTPN V.
"Sekarang H Alwi berkhianat kepada masyarakat dan Presiden Jokowi. Ini yang akan kami laporkan," tegas Pebriyan.
Menurutnya, tanpa persetujuan masyarakat, kebun sawit tersebut saat ini dikelola dan dipanen oleh KNES yang bekerja sama dengan PTPN V. Pengelolaan keuangan hasil panen kebun dinilai tidak transparan. Berdasarkan perhitungan masyarakat melalui kuasa hukum sebelumnya, Suroto, sejak tahun 2020 hingga saat ini, total nilai hasil panen mencapai angka fantastis, yakni Rp1,058 triliun.
"Jika dihitung secara kasar, kebun sawit seluas 2.100 hektare dengan hasil panen rata-rata 3 ton per hektare tiap bulan, maka total produksi mencapai 6.300 ton atau 6,3 juta kilogram. Jika harga rata-rata TBS Rp2.800 per kilogram, maka nilai hasil panen per bulan sekitar Rp17,64 miliar. Jika dihitung sejak awal 2020 hingga sekarang (selama 60 bulan), maka total nilai hasil panen yang dikelola oleh KNES bekerja sama dengan PTPN V mencapai Rp1,058 triliun," jelasnya.
Ironisnya, lanjut Pebriyan, uang hasil panen yang begitu besar tersebut tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pemilik lahan. Justru, Ketua KNES, H Alwi, mengklaim bahwa pada tahun 2021 koperasi memiliki utang sebesar Rp68,55 miliar, yang pembayarannya dibebankan kepada masyarakat tanpa adanya transparansi mengenai tujuan utang tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat untuk mencari keadilan, termasuk melaporkan permasalahan ini ke Pemerintah Kabupaten Kampar, Dinas Koperasi, Polres Kampar, Pemerintah Provinsi Riau, hingga Polda Riau. Namun, hingga kini belum ada tindakan tegas dari pihak-pihak terkait.
Pada akhir tahun 2023, karena desakan ekonomi, masyarakat Desa Senama Nenek mencoba melakukan panen mandiri. Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan dari KNES yang menerjunkan pengamanan untuk menghalangi masyarakat. Selain itu, akses jalan keluar-masuk mobil pengangkut buah ditutup menggunakan portal, sementara pabrik kelapa sawit dan tempat penampungan (ram) di sekitar kebun menolak menerima buah hasil panen masyarakat setelah mendapat somasi dari KNES.
Kini, masyarakat Desa Senama Nenek secara tegas menolak perpanjangan kontrak antara KNES dan PTPN V yang akan berakhir pada Desember 2024. Jika kontrak tersebut diperpanjang, mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran, menduduki kantor PTPN V, serta menyurati Presiden RI, Menteri BUMN, dan pejabat terkait lainnya.
Selain itu, masyarakat juga berencana melaporkan PTPN V ke Mabes Polri atau Polda Riau atas dugaan tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP.
"PTPN V seharusnya berpihak kepada masyarakat, bukan hanya mencari keuntungan semata," pungkas Pebriyan. (rls)