Kuantan Singingi (Kuansing) – Sejarah pendirian Kabupaten Kuantan Singingi kembali mencuat setelah tokoh Kuansing, Marwan Yohanis, mengungkap berbagai klaim sepihak soal siapa yang sebenarnya berperan dalam pembentukan kabupaten tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak semua yang kini mengaku sebagai pendiri benar-benar memiliki peran besar dalam perjuangan itu.
Marwan Yohanis mengklasifikasikan para pelaku sejarah pendirian Kuansing ke dalam lima kategori:
1. Pendiri – Mereka yang berjuang sejak awal untuk pembentukan Kabupaten Kuansing.
2. Berkontribusi – Tokoh yang memberi sumbangsih nyata dalam bentuk tenaga, pemikiran, atau materi.
3. Berpartisipasi – Mereka yang terlibat dalam proses berdirinya kabupaten, tetapi bukan sebagai inisiator utama.
4. Bersimpati – Tokoh yang mendukung pembentukan, namun dengan peran yang minim.
5. Antipati – Kelompok yang menolak atau tidak mendukung pemekaran Kuansing.
Menurut Marwan, banyak pihak yang kini mengaku sebagai pendiri, padahal mereka hanya sekadar berpartisipasi atau bahkan numpang nama dalam perjuangan tersebut. Istilah La babungo duyan inyo numpang basiang (orang yang berjuang setelah jadi banyak yang jadi pahlawan) dinilai tepat untuk menggambarkan kondisi ini.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan mendirikan Kabupaten Kuantan Singingi tidak lepas dari peran utama beberapa tokoh. Samad Taha dan Abas Jamil disebutnya sebagai “Soekarno-Hattanya Kuansing sebagai tokoh sentral dalam perjuangan mereka inilah sebagai pendiri, karena menjadi motor utama dalam upaya pemekaran Kuansing dari Kabupaten Indragiri Hulu.
Sementara itu, Seng Sui, yang merupakan abang ipar dari Aliang, disebut sebagai salah satu penyumbang dana besar dalam perjuangan tersebut. “Dia punya kebun ribuan hektar, dan kontribusinya sangat besar,” ujar Marwan.
Di sisi lain, beberapa tokoh masuk dalam kategori “antipati”, yakni mereka yang menentang pemekaran Kuansing. Nama Raja Erisman dan loyalisnya, termasuk seorang tokoh muda Jake, disebut sebagai pihak yang secara tegas menolak berdirinya Kabupaten Kuansing. “Sekarang ia sudah jadi anggota DPRD dia yang menikmati,” tambahnya.
Wawancara Eksklusif dengan Marwan Yohanis: Mengungkap Sejarah Pendirian Kabupaten Kuantan Singingi
Jakarta, 18 Februari 2025 – Di tengah kesibukannya menghadiri sejumlah agenda di Ibu Kota, Marwan Yohanis, tokoh sentral dalam pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), meluangkan waktu untuk berbincang dengan kami di Hotel Peninsula, Jakarta.
Dalam wawancara eksklusif ini, beliau mengisahkan kembali perjuangan panjang di balik pendirian Kuansing dan menyoroti klaim-klaim yang muncul belakangan ini terkait siapa saja yang berperan dalam proses tersebut.
Pak Marwan, bisa Anda ceritakan bagaimana awal mula ide pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi?
Tentu. Ide pembentukan Kabupaten Kuansing sebenarnya sudah muncul sejak awal 1990-an. Saat itu, kami merasa bahwa wilayah Kuansing memiliki potensi besar yang belum tergarap optimal karena keterbatasan akses dan perhatian dari pemerintah kabupaten induk, yaitu Indragiri Hulu. Bersama beberapa rekan, seperti Samad Taha dan Abas Jamil, kami mulai merumuskan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan pemekaran ini.
Siapa saja tokoh yang terlibat aktif dalam perjuangan ini?
Samad Taha dan Abas Jamil bagi saya mereka merupakan "Soekarno-Hattanya Kuansing" dalam konteks perjuangan ya, ada juga Seng Sui yang berperan sebagai penyumbang dana signifikan. Beliau memiliki lahan perkebunan yang luas dan dengan sukarela mendukung secara finansial.
Belakangan ini muncul berbagai klaim dari pihak-pihak yang mengaku sebagai pendiri Kuansing. Bagaimana tanggapan Anda?
Memang benar, setelah Kuansing resmi berdiri, banyak yang mengklaim sebagai pendiri. Untuk meluruskan hal ini, saya mengklasifikasikan peran-peran tersebut ke dalam lima kategori:
Pendiri – Mereka yang berjuang sejak awal dan menjadi motor penggerak utama. Berkontribusi – Tokoh yang memberikan sumbangsih nyata, baik tenaga, pemikiran, maupun materi. Berpartisipasi – Mereka yang terlibat dalam proses, namun bukan inisiator utama. Bersimpati – Pendukung yang perannya tidak terlalu signifikan. Antipati – Kelompok yang menolak atau tidak mendukung pemekaran.
Sayangnya, ada yang hanya berpartisipasi atau bahkan tidak terlibat sama sekali, namun kini mengklaim sebagai pendiri. Istilah "La babungo duyan inyo numpang basiang" sangat tepat untuk menggambarkan fenomena ini.
Bagaimana Anda melihat peran Anda sendiri dalam proses ini?
Saya menempatkan diri dalam kategori "Berkontribusi". Saya berusaha memberikan sumbangsih nyata melalui tenaga, pemikiran, dan materi. Namun, saya bukanlah inisiator utama.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi saat itu?
Tantangan terbesar datang dari internal dan eksternal. Ada tokoh-tokoh yang masuk kategori "Antipati", seperti Raja Erisman dan beberapa loyalisnya, yang secara tegas menolak pemekaran ini. Namun, dengan tekad dan kerja keras, kami berhasil meyakinkan berbagai pihak hingga akhirnya pada 8 Oktober 1999, Drs. H. Rusdji S. Abrus ditunjuk sebagai Pejabat Bupati Kuansing.
Apa pesan Anda untuk generasi muda Kuansing?
Pahami dan hargai sejarah. Jangan mudah terpengaruh oleh klaim-klaim tanpa dasar. Fokuslah pada pembangunan dan kemajuan Kuansing ke depan, sambil tetap menghormati mereka yang benar-benar berjuang di masa lalu.
Wawancara ini memberikan gambaran jelas tentang dinamika di balik pendirian Kabupaten Kuantan Singingi dan pentingnya menjaga integritas sejarah bagi generasi mendatang. (red)