Ketika Manusia Mengaku Tuhan

Senin, 16 Maret 2020 | 12:50:09 WIB

RIAUTERBIT.COM - Dalam perjalanan umat manusia, selalu saja ada orang yang menyimpang dari kodratnya sebagai makhluk. Penyimpangan itu bukan hanya pada tataran relasi dengan sesama manusia, akan tetapi sampai pada tingkat pengakuan diri sebagai Tuhan. Untuk itulah, Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul pada setiap zaman untuk mengembalikan fitrah manusia sebagai hamba yang bertuhan.

 

 

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS 51: 56). Sejarah keangkuhan manusia pernah muncul di sebuah negeri nan berjaya yaitu Mesir, yang dahulu sempat dipimpin oleh Nabi Yusuf AS. Kekuasaan telah silih berganti hingga sampai kepada Fir’aun yang zalim. Kisahnya banyak tersebar dalam Alquran terutama soal kepongahannya. “Akulah Tuhan kamu yang paling tinggi” (QS 79:24). Ia pun memaksa seluruh rakyat dan petinggi kerajaan untuk menyembahnya. Kemudian, Allah SWT mengutus Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS (1527-1407 SM) untuk berdakwah kepada Fir’aun (Raja Ramses II) agar beriman kepada Allah SWT. Namun, ajakan mereka ditolak dan terpaksa meninggalkan Mesir bersama Bani Israil.

 

Allah SWT menyelamatkan mereka dari kejaran Fir’aun dengan membelah lautan hingga sampai ke pinggir pantai. Seketika itu pula laut menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Prof Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” menjelaskan bahwa perhiasan emas yang melekat di badan membuatnya mudah tenggelam.

 

Namun, setelah beberapa hari jasadnya mengambang ke permukaan lalu dihempaskan ombak ke tepi pantai. Rakyatnya pun menyakini bahwa jasad itu adalah raja mereka lalu membalsem (mummi) hingga jasadnya terselamatkan. Inilah bukti kebenaran firman Allah SWT, “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu ... ” (QS 10:92).

 

Pekan lalu, saya bisa menyaksikan sendiri jasad Fir’aun di Kairo, Mesir. MasyaAllah, tubuhnya telah mengering dan terbujur kaku. Rambut berwarna kuning dan gigi yang masih utuh serta badan terbalut kain. Banyak pelajaran berharga dalam rihlah ilmiyah ke negeri para nabi, antara lain : Pertama, kekuasaan, kekayaan dan pujian bisa membuat manusia lupa diri. Kedua, ketika kesombongan merasuki diri, maka tindakan pun akan dzalim.

 

Setiap kata dan sikapnya dianggap benar dan orang lain selalu salah. Ketiga, sejarah Firaun semakin menguatkan keyakinan bahwa keangkuhan adalah awal dari setiap kejatuhan. Keempat, Fir’aun memang tinggal bangkai yang tak berdaya. Namun, sikap dan perilakunya boleh jadi muncul dalam diri kita.

 

Merasa paling benar, menghakimi orang lain sebagai penghuni neraka. Sejatinya, berkelana di muka bumi perlu dilakukan untuk melihat bekas-bekas kejayaan dan kehancuran umat terdahulu. Pengetahuan dan pengalaman akan melahirkan kearifan. “Jauh berjalan banyak dilihat. Lama hidup banyak dirasa. Pandai bergaul banyak sahabat,” begitu pesan orang bijak. Allahu a’lam bish-shawab.(rep)

Terkini