Andi Matalata: Kisruh Golkar Bukan Sengketa Kepemilikan

Andi Matalata: Kisruh Golkar Bukan Sengketa Kepemilikan
Anggota Mahkamah Partai (MP) Partai Golkar (PG) hasil Musyawarah Nasional (Munas) di Riau, Andi Mattalatta

RIAUTERBIT.COM - Anggota Mahkamah Partai (MP) Partai Golkar (PG) hasil Musyawarah Nasional (Munas) di Riau, Andi Mattalatta mengemukakan konflik atau sengketa yang dialami PG bukan sengketa kepemilikan.

Sengketa yang ada adalah masalah politik yang penyelesaiannya harus mengedepankan kompromi. Penyelesaian tidak bisa diselesaikan lewat hukum semata. Jika mengikuti proses hukum tidak ada ujungnya karena selalu ada upaya perlawanan dari pihak yang kalah.

"Jangan dilihat konflik kepemilikan, lalu selesaikan dengan hukum. Kalau konflik kepemilikan hasilnya kalah atau menang," kata Andi saat menerima kader muda PG di Jakarta, Senin (16/11).

Kader muda yang menemui Andi diantaranya Ketua DPP Golkar versi Munas Bali Ahmad Doli Kurnia, juru bicara Poros Muda Golkar Andi Sinulingga, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Munas Ancol Lamhot Sinaga, dan Ketua DPP Partai Golkar Munas Ancol Melki Laka Lena‎.

Lebih lanjut Andi menjelaskan jika sengketa Golkar dianggap sebagai masalah kepemilikan, penyelesaiannya akan sangat panjang, bahkan tidak berujung. Pemahaman bahwa sengketa yang ada dianggap sebagai sengketa kepemilikan menyebabkan seseorang enggan untuk melepasnya karena dianggap sebagai miliknya. Padahal partai politik bukan milik seseorang atau sekelompok orang.

Menurut Andi, sengketa Golkar adalah persoalan manajemen. Diawali dari sejumlah kader yang tidak puas atau kecewa dengan kepemimpinan partai yang berkuasa. Mereka protes dan kritis atas kepemimpinan yang ada yang dianggap tidak aspiratif. Dari situ lalu melahirkan konflik.

Dia memberikan asosiasi konflik Golkar seperti konflik saat perang dingin atau konflik yang terjadi Yugoslavia, Amerika Utara dan wilayah lain di dunia ini. Contoh lainnya adalah konflik yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu. Konflik-konflik itu bukan muncul karena kasus hukum semata, tetapi tetapi adanya pemimpin yang tidak aspiratif.

Penyelesaian-penyelesaian atas konflik tersebut bukan jalur hukum, tetapi harus dicapai kompromi. Untuk kasus di Yugoslavia atau Aceh, penyelesaiannya lewat pemilu dan pilkada. Untuk kasus Golkar, seharusnya ada forum yang disepakati bersama. Forum itu apakah Munas bersama atau model lain yang merupakan hasil kompromi.

"Penyelesaian konflik Golkar ya bisa Munas, tetapi harus ada janinan kepemimpinannya tidak ulangi produk yang tidak disukai sekarang. Caranya Munas harus demokratis dan terbuka," tutur mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini.

Robertus Wardhy/YUD

Suara Pembaruan
 

Berita Lainnya

Index