Turki Setop Cegat Pengungsi Suriah Datang ke Eropa

Turki Setop Cegat Pengungsi Suriah Datang ke Eropa
Turki akan berhenti mencegat pengungsi Suriah menyeberang ke Eropa.

ANKARA -- Pemerintah Turki akan berhenti mencegat pengungsi Suriah menyeberang ke Eropa. Kebijakan itu diambil setelah 33 tentaranya terbunuh dalam serangan pasukan Suriah di Provinsi Idlib pada Kamis (27/2).

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memimpin pertemuan darurat pasca-serangan di Idlib menewaskan pasukannya. "Kami telah memutuskan, secara efektif segera, untuk tidak menghentikan pengungsi Suriah mencapai Eropa melalui darat atau laut. Semua pengungsi, termasuk warga Suriah, dipersilakan menyeberang ke Uni Eropa," kata seorang pejabat Turki yang enggan dipublikasikan identitasnya.

Menurut pejabat tersebut, beban untuk menampung pengungsi terlalu berat jika harus dipikul oleh satu negara. Saat ini Turki menampung sekitar 3,7 juta pengungsi Suriah. Ankara telah beberapa kali menyatakan bahwa mereka tak dapat menerima lebih banyak pengungsi.

Pada 2016, Turki dan Uni Eropa membuat perjanjian tentang penanganan pengungsi. Ankara sepakat mencegat dan menampung pengungsi Suriah agar tak menyeberang ke Eropa. Sebagai imbalannya, Eropa memberikan bantuan dana sebesar enam miliar euro dan perjalanan bebas visa ke Benua Biru bagi warga Turki.

Turki telah mengatakan dana bantuan dari Uni Eropa terlambat cair. Dana itu pun dianggap tak memadai mengingat Turki telah menggelontorkan dana 40 miliar dolar AS untuk menangani para pengungsi Suriah.

Sejak Desember tahun lalu, sekitar satu juta pengungsi warga sipil Suriah telah mengungsi ke dekat perbatasan Turki. Mereka berduyun-duyun datang ke wilayah tersebut seiring dengan kian agresifnya serangan pasukan Suriah dan sekutunya Rusia ke Idlib. Damaskus memang sedang berupaya merebut kembali Idlib, satu-satunya wilayah yang masih dikuasai kelompok oposisi bersenjata.

Serangan udara ke Idlib pada Kamis lalu membunuh 33 tentara Turki dan melukai 32 lainnya. Turki memiliki 12 pos pengamatan militer di Idlib sebagai hasil dari perjanjian deeskalasi Idlib dengan Rusia pada 2018. Ankara turut mendukung beberapa faksi oposisi yang berkeinginan menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Amerika Serikat (AS) turut mengomentari serangan yang menewaskan pasukan Turki. Washington mengaku prihatin. "Kami mendukung sekutu NATO kami, Turki, dan terus menyerukan untuk segera mengakhiri serangan memalukan oleh rezim Assad, Rusia, dan pasukan yang didukung Iran," kata seorang perwakilan Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyuarakan keprihatinan besar atas eskalasi yang terjadi di Idlib. Dia menyerukan para pihak yang berkonfrontasi segara menerapkan gencatan senjata.

Pekan lalu Kepala Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat PBB Mark Lowcock mengatakan bencana kemanusiaan sedang berlangsung di Idlib. Dia mengungkapkan, ratusan ribu warga Idlib sedang melakukan eksodus. Kondisi mereka mencemaskan karena saat ini Idlib tengah dibekap cuaca sangat dingin.

“Banyak yang berjalan kaki atau di belakang truk dalam suhu di bawah titik beku, di tengah hujan, dan salju. Mereka pindah ke daerah yang semakin ramai yang mereka pikir akan lebih aman. Tapi di Idlib, tidak ada tempat yang aman,” ujar Lowcock saat berbicara di Dewan Keamanan PBB pada Rabu (19/2).

Menurut Lowcock, sejak 1 Desember 2019, hampir 900 ribu warga Idlib mengungsi. Lebih dari 500 ribu di antaranya adalah anak-anak. Sekitar 50 ribu orang tak memiliki tempat bernaung. Mereka berlindung di bawah pohon dan ruang terbuka. “Saya mendapat laporan harian tentang bayi dan anak kecil yang sekarat dalam kedinginan,” ujar Lowcock.


Konflik sipil Suriah telah berlangsung sejak 2011. Peperangan telah menyebabkan ratusan ribu orang tewas dan puluhan juta lainnya mengungsi, termasuk ke Eropa dan Amerika. (rep)

Berita Lainnya

Index