Qurban, Antara Cemburu dan Cinta yang Maha

Qurban, Antara Cemburu dan Cinta yang Maha

Oleh : Saidul Tombang

Kalau secara syariat qurban adalah menyembelih hewan ternak untuk dibagikan kepada umat, maka secara hakikat keseluruhan cerita qurban adalah tentang kisah cinta paling epik dan romantik.

Pemeran utamanya adalah Nabiyullah Ibrahim yang 83 tahun hidup tanpa anak si jantung hati belahan jiwa. Cerita berjalan melankolik saat Sarah yang akhirnya rela mengizinkan Ibrahim beristri dua. Namun kisah ini menjadi dramatik ketika si istri kedua Hajar, yang pada masa bulan madunya, diasingkan ke negeri tak bertabuh di tengah padang gurun tandus bernama Bakkah yang di kemudian hari menjadi kawasan paling elit di dunia; Makkah Almukarramah. Alurnya menjadi lebih menarik dan mengalami suspensi besar dengan kehadiran Ismail yang lahir dan besar tanpa ayah di sampingnya

Masa berganti waktu berubah Ibrahim dan Sarah kemudian berbahagia di Palestina. Hajar dan Ismail pun mulai bahagia di Makkah karena kota ini mulai menjadi kota yang ramai.

Kita mungkin siap menghadapi cobaan dan siksa. Mungkin kota kuat menghadapi kemiskinan dan kenestapaan. Tapi sering kalo kita terjatuh ketika diuji dengan kesenangan dan kesempurnaan dunia. Ketika terselip rasa bahagia. Rasa cinta ditakutkan akan berubah. Allah takut Ibrahim lebih mencintai dunia daripadaNya.

Lalu cerita memasuki fase klimaks, saat Allah memerintahkan menyembelih Ismail, episentrum bahagia Ibrahim. Anak si jantung hati belahan jiwa, yang diharap pinta dalam waktu lama, harus disembelih untuk membuktikan bahwa cintanya tak luntur kepada Allah meskipun itu karena anaknya. Bahwa Allah di atas segalanya. Bahwa anak, harta, dan kehormatannya tak lebih sekadar fitnah.

Walaupun secara dramatis, ada adegan antiklimaks saat Allah menukar Ismail dengan qibas gembalaan Haabil, tapi dari sini kita mengambil iktibar bahwa cinta Ibrahim kepada Tuhannya sudah terbukti dan teruji. Ibrahim lolos ujian dengan nilai sempurna.

Allah adalah zat yang maha cemburu. Dia tidak membiarkan hambanya mendua hati. Lebih mencintai yang lain dari padaNya. Saking cemburunya Allah, sedemikian banyak dosa yang dibuat manusia, semuanya terampuni kecuali dosa menduakanNya. Bahkan untuk melipus dosa 'selingkuh' ada aturan ketat diberlakukan supaya bisa terampuni.

Kisah ini mengajarkan kita tentang makna cinta yang sesungguhnya. Tentang cinta yang maha agung. Tentang cinta kepada yang maha agung. Bukan seperti yang dipertontonkan di layar kaca, kisah cinta di India atau Korea yang tak lebih dari tontonan opera.

Cinta adalah rasa yang paling indah. Mencintai Allah adalah rasa di atas segala rasa. Karena cinta adalah esensi hidup maka dia tidak didapat dengan mudah. Cinta harus diperjuangkan. Bahkan bila perlu harus berani kehilangan. 

Sedangkan pengorbanan adalah esensi cinta. Ketika kita rela mengorbankan rasa cinta demi sebuah cinta yang maha mulia, ketika itu pula kisah cinta akan bernilai ibadah.

Kita yang hidup di dunia sudah diberikan aneka nikmat. Harta dan keluarga. Kekuasaan dan kehormatan. Maka ketika itu semua sudah kita punya maka Allah akan menguji kita; apakah kecintaan kita kepada dunia akan mengalahkan cinta kita kepadaNya.***

*Inti sari khutbah Idul Adha 1439 H di Masjid Almuttaqiin, Koto Perambahan, Kampar.

Berita Lainnya

Index