Tata Kelola Kelapa Sawit Rawan Korupsi

Tata Kelola Kelapa Sawit Rawan Korupsi
Ilustrasi Kelapa Sawit (ANTARA FOTO)

RIAUTERBIT.COM- Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang strategis bagi perekonomian Indonesia. Namun, tata kelola komoditas ini masih memiliki sejumlah persoalan. Akibat tata kelola yang masih lemah, komoditas kelapa sawit rentan korupsi.

Dalam kajian yang dilakukan KPK pada 2016 menunjukkan, tata kelola kelapa sawit masih lemah dalam mekanisme perizinan pengawasan dan pengendalian. Akibatnya, komoditas ini menjadi ladang korupsi menggerogoti keuangan negara. Sejumlah kasus korupsi terkait tata kelola kelapa sawit yang pernah ditangani KPK, diantaranya Bupati Buol, Amran Batalipu dan Gubernur Riau, Rusli Zainal.

"Korupsi dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit sering melibatkan kepala daerah," kata Jubir KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (25/4).

Febri mengatakan, dalam kajian yang dilakukan KPK, pihaknya menemukan hingga saat ini belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi ini tak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan.

"Sehingga, rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktek tindak pidana korupsi," ungkapnya.

Dari sisi hulu, kata Febri, sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit belum akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Hal ini ditandai dengan tidak adanya mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Akibatnya, terjadi tumpang tindih izin atas lahan seluas 4,69 juta hektare.

"Integrasi perizinan dalam skema satu peta juga belum tersedia. Selain itu, kementerian dan lembaga terkait belum berkoordinasi dalam penerbitan perizinan. Akibatnya, masih terjadi tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare," katanya.

Sementara di sisi hilir, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit, habis untuk subsidi biofuel. Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkembunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp 3,25 triliun alokasi dananya.

"Padahal seharusnya penggunaan dana terbagi untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset," ungkapnya.

Tak hanya itu, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tak efektifnya pengendalian pungutan ekspor ini mengakibatkan ada kurang bayar pungutan sebesar Rp 2,1 miliar dan lebih bayar Rp 10,5 miliar.

"Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami penurunan. Sejak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya menurun masing-masing sebanyak 24,3 persen dan 36 persen," jelasnya.

Dari hasil kajian ini, KPK merekomendasikan Kementerian Pertanian dan kementerian/lembaga terkait harus menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit.

"KPK akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi tersebut," tegasnya.


Fana Suparman/YUD

Suara Pembaruan
 

Berita Lainnya

Index