Tahukah Kita Bahwa Warga Sekitar Lahan Gambut Sulit Dapat Profit Ekonomi

Tahukah Kita Bahwa Warga Sekitar Lahan Gambut Sulit Dapat Profit Ekonomi
Ilustrasi (Istimewa)

RIAUTERBIT.COM- Begitu parahnya kabut asap yang terjadi pada 2015 lalu, sebagian besar disebabkan oleh kebakaran lahan gambut. Karenanya, pengelolaan lahan gambut menjadi fokus penanganan masalah lingkungan, salah satunya lewat pelibatan masyarakat. Namun kendala danhambatannya masih begitu pelik.

Badan Restorasi Gambut didirikan tahun 2015 untuk memulihkan sekitar dua juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi dalam waktu lima tahun.

Namun, dua juta hektar adalah jumlah yang luas, dan memulihkan lahan gambut berarti juga harus memahami bagaimana gambut digunakan oleh masyarakat sekitar, kata Manajer Kemitraan program Kemakmuran Hijau Millennium Challenge Account - Indonesia, Achmad Adhitya.

"Ada sekitar 300 sekat kanal yang sudah dipetakan dan siap dibangun di taman hutan rakyat Berbak, Jambi," kata Adithya.

"Ketika kanal itu ditutup, masyarakat yang ada di sana itu harus dapat sesuatu juga kan. Masyarakat melihat seolah-olah ada lahan yang tidak dimanfaatkan, lalu kenapa itu tidak dikeringkan agar bisa ditanami. Yang jadi masalah, ketika dikeringkan, itu jadi berpotensi terbakar," katanya.

Namun menentukan bagaimana lahan tersebut bisa digunakan agar tak dibakar lagi, juga tidak mudah.

Pasalnya, belum ada pemetaan atau pendataan menyeluruh tentang kondisi sosial masyarakat di sekitar gambut.

Dan proses pemetaan inilah yang sedang dilakukan lewat program yang dikerjakan oleh Achmad Adhitya, bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut.

"Pada prinsipnya, lahan gambut adalah lahan yang dibasahi oleh air, masyarakat yang ingin memanfaatkan lahan gambut itu kemudian membuat kanal yang lalu dikeringkan dan ditanami. Kanal-kanal yang sudah dibangun tadi kebanyakan ada yang dimanfaatkan untuk transportasi. Pada praktiknya, sebenarnya, identifikasi terhadap kanal-kanal tadi adalah bagian dari pemetaan yang kita lakukan tadi," ujarnya.

Lewat pemetaan, mereka baru mengetahui tipe kanal lahan gambut seperti apa, dengan pemanfaatan seperti apa, baru kemudian menentukan jenis restorasi yang tepat seperti apa di sana.

"Tidak melulu hanya membuat sekat kanal. Upaya membuat sekat kanal itu sebenarnya merestorasi lahan gambut, dia harus bisa memberi keuntungan ekonomi buat masyarakat. Pembuatan sekat kanal tadi harus diintegrasikan dengan aktivitas lain, seperti penanaman kembali dengan jenis tanaman yang memberi keuntungan ekonomi, atau membangun sistem peringatan dini untuk kebakaran lahan gambut, jadi harus ada manfaat untuk masyarakat," tambah Adhitya.

(ROMEOGACAD/AFP/GettyImages) Kelompok lingkunganGreenpeace menyatakan pada 2010 bahwa ada konsesi-konsesi yang menggarap lahan gambut yang tersisa diSumatera dan membahayakan habitat harimauSumatera, namun Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 sudah memberlakukan moratorium terhadap pembukaan lahan gambut.

Menurut Profesor Rujito Agus Suwignyo dari Center of Excellence Peatland Conservation Productivity Improvement di Universitas Sriwijaya, mereka sudah mengidentifikasi hampir 60 jenis tanaman yang bisa ditanam di lahan gambut.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk melindungi lahan gambut sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat di sekitar gambut tersebut adalah lewat metode bio-cyclo-farming, yang menggabungkan pertanian, peternakan, sambil mempertahankan lahan gambut.

Salah satunya adalah jelutung, yang bisa diambil getahnya untuk bahan permen karet.

"Kalau kita menginginkan itu untuk dijadikan bahan tanaman restorasi di Sumsel, sebenarnya di Balai Kehutanan di Sumsel siap, mereka punya pembibitan untuk mensuplai kebutuhan restorasi. Kalau kita lihat hutan gambut kan terdiri dari banyak jenis, termasuk juga kalau melibatkan masyarakat, harus kita tambah jenis-jenis (tanaman) yang quick income bukan tanaman tahunan, tapi hortikultura, nanas, yang bisa menambah pemasukan masyarakat dalam waktu pendek," kata Rujito.

Di beberapa lokasi di Sumatera Selatan, menurut Rujito, masyarakat sudah melakukan konservasi lahan gambut dengan menanam jelutung.

Namun mereka belum mendapat keuntungan dari situ, karena hambatan infrastruktur.

"Kalau kita melihat lahan gambut itu kan tempatnya terisolir ya, jangan-jangan untuk menuju ke sana, dengan kendaraan mobil tidak bisa, dengan ojek pun mungkin tidak bisa, sehingga memang sebenarnya pemerintah juga perlu mendukung tempat-tempat itu dengan keterjangkauan transportasi," kata Rujito.

Tanpa dukungan itu, maka akan sulit bagi masyarakat yang akan menjual produk pertaniannya karena jika tak dijual cepat, maka produk tersebut akan cepat rusak.

Badan Restorasi Gambut juga mengakui bahwa langkah penting dalam memulihkan gambut adalah dengan memberikan akses ke masyarakat untuk bisa memanfaatkan lahan gambut dan mendapat keuntungan ekonomi selain juga menjaga agar tidak dibakar.

Namun ini tak lepas dari upaya melakukan pencatatan terhadap desa-desa di sekitar lahan gambut karena data desa yang selama ini masih minim, kata Myrna Safitri, Deputi III Badan Restorasi Gambut.

"Kalau kita berbicara soal peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, standar minimumnya adalah melakukan standar perencanaan desa, pembentukan kawasan pedesaan, tapi kita kan juga perlu melihat, sebenarnya biaya yang dibutuhkan itu berapa banyak sih, sehingga paling tidak kita punya bayangan, tidak semahal yang dibayangkan orang, atau tidak semurah yang dibayangkan orang. Itu standar-standar minimum yang dalam pelaksanaannya pasti keragaman desanya jadi diperhatikan," katanya. (dtc/nwk/nwk)

Berita Lainnya

Index